Sabtu, 19 Agustus 2017

IMPIAN KITA

Impian. Begitu indah dan membuai, siapa saja yang memilikinya. Diri akan terbuai dan terbang melayang untuk meraihnya. Dengan usaha dan do’a. tak akan ada yang bisa menghalanginya. Itulah yang biasa aku lakukan dengan murid-muridku. Menancapkan impian dalam angan, berharap Allah akan mengabulkannya.


Murid-murid special dari Allah. Memang sekolahku tidak pernah banyak muridnya. Siapapun yang menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah yang aku kelola, adalah orang yang paham tentang pendidikan anak usia dini. Selain itu, mereka juga tidak menginginkan kalau anak-anak mereka bersekolah dengan jumlah murid yang banyak.
Tahun ajaran ini, aku menjadi wali kelas untuk Kelompok Bermain dan Kelompok B. Hanya delapan orang. Tapi penanganannya melebihi dua puluh anak. Mereka “anak-anak hebat” (bukan ABK) yang perlu penangan berbeda. Artinya, mereka pandai dan save dalam menyelesaikan permasalahan mereka. Itu adalah goal sekolah yang aku kelola.


Awal, mereka agak takut kepadaku. Maklum, selama ini, aku hanya sebagai pengawas bagi guru mereka. Tapi, tahun ini aku harus mendidik dan mengajari mereka sendiri. itu karena takdir yang mengharuskannya. Bismillah, aku jalani semua dengan ikhlas dan sabar serta senang hati.


Aku mencoba memetakan mereka berdasarkan kemampuan akademiknya. Agar memudahkan aku dalam memberikan materi ke mereka. Alhamdulillah akhirnya semua berjalan sebagaimana yang aku harapkan.


Aku mengajak mereka bermain dan bersenang-senang. Itu yang setiap hari aku lakukan, sehingga mereka merasa betah di sekolah. Bahkan mereka selalu minta dijemput terlambat setiap hari. Hanya untuk memuaskan diri di sekolah. Ada satu ganjalan, yang selalu menggangguku. Mereka sangat penakut ketika aku minta untuk maju bercerita atau yang lainnya. Ada apakah dengan mereka?


Aku mulai berpikir, apa yang harus aku lakukan, agar mereka menjadi seorang anak yang pemberani? Perlahan aku mencoba mencari-cari, apa yang bisa memancing keberanian mereka selain latihan maju bercerita setiap hari?


Lama aku mencari sebuah metode yang pas untuk mereka. Sebuah metode yang menyenangkan untuk mereka, tapi menjadikan mereka berani maju untuk bercerita. Aku sangat menjadikan hal tersebut sebagai sesuatu yang sangat penting bagi mereka, yaitu bagaimana mereka bisa bercerita dengan berani di hadapan teman-temannya.


Padahal, kami selalu have a nice dream in the future. Kami selalu bermimpi bersama-sama. Tentunya dengan impian yang berbeda-beda. Aku mencoba membangun pikiran positif mereka akan masa depannya. Mempunyai impian indah yang harus diwujudkan suatu saat nanti. Ketika Allah mentakdirkan impian mereka menjadi sebuah kenyataan, bukan hanya sekadar angan-angan belaka.


Ide itu muncul ketika aku menemukan sebuah bola basket milik anak laki-lakiku. Perlahan aku berdiri dan berjalan mengambil bola basket tersebut. Dengan tenang aku mulai memainkan bola basket tersebut. Semua anak didikku melihatnya dengan pandangan yang berbinar-binar. Bahkan, Muel mulai mendekatiku mencoba merebut bola basket dari tanganku. Serentak, semua berebut untuk mendapatkannya.


“Sebentar, bu Hepy akan memberi contoh dulu bagaimana cara memainkannya,” ucapku mencoba menenangkan mereka.
“Aku bu, aku bu…,” suara mereka bersahut-sahutan.
“Iya, iya, sebentar ya… perhatikan dulu,” jawabku mencoba membuat mereka cooling down.
“Anak-anak, bu Hepy akan mengajarkan cara mendrible bola basket dan melemparkannya. Tolong perhatikan ya,” ucapku memulai pemberian materi tentang kebasketan.


Sudah dua puluh enam tahun aku tidak menyentuh bola ini. Aku dulu adalah seorang atlit basket di sekolah. Semua teman laki-lakiku tidak ada yang bisa mengalahkan kemampuanku memasukkan bola ke ring basket. Aku adalah pemain basket handal di sekolah, meskipun jika berhadapan dengan bola volley selalu berlari ketakutan.


Satu-persatu mereka belajar mendrible dan melempar bola. Mereka sangat antusias sekali. tak mau berhenti, padahal sudah satu jam bermain basket.
“Bu, aku hebat ya. Padahal aku kalau di rumah takut main bola basket, sakit kalau terkena bolanya,” celetuk Muel.
“Aku juga bu, ternyata mudah ya bermain basket itu,” Seva menimpali kata-kata Muel.
Azzam juga menyela, “Aku juga bisa bu… pintar ya”.


Subhanallah, mereka senang dan antusias sekali. Bahkan mereka bergaya, seolah-olah sudah menjadi seorang pemain basket handal. Wow… aku benar-benar surprise. Petunjuk Allah yang datang tiba-tiba tanpa pernah aku pikirkan sebelumnya.
“Rabbi, bersyukur hanya kepada-Mu atas semua ini,” batinku sembari tersenyum bahagia melihat kegembiraan anak-anak di hadapanku.


Alhamdulillah dengan metode tersebut, aku bisa membuat mereka berebut untuk maju bercerita di depan. Mereka juga sangat bangga ketika bercerita di hadapan teman-temannya tentang impian indahnya nanti ketika mereka sudah besar.


Kejutan dari Allah yang tak pernah aku sangka-sangka. Menghadirkan anak-anak hebat dalam kehidupanku, meskipun hanya setahun aku mendidik dan mengajari mereka. Tapi, hati kami telah tertautkan. Kami punya impian bersama, suatu saat nanti. Pergi ke Tanah Suci bersama-sama dan melihat keindahan Paris dengan Menara Eifelnya.
Anak-anakku, harapanku, impianku nanti. Aku berharap mereka bisa menjadi seorang pemimpin yang shalih dan shalihah di negeri ini. Membawa pencerahan dan kebaikan-kebaikan untuk agama, bangsa dan Negara. Juga orang tua dan masyarakatnya.


Aku berharap bahwa impian-impian yang kami jalin itu bisa terwujudkan nanti, ketika mereka sudah mampu melakukannya. Muel, Seva, Azzam dan Sharin bisa mengunjungi Negara yang mereka impikan. In Shaa-a Allah… aamiin.


Aku berharap pada-Mu Ya Rabb, mampukan kami untuk bisa mewujudkan semua impian kami. Berilah kami kemudahan dan kekuatan untuk bisa menggapainya. Meraih semua impian dan harapan dengan mengetuk pintu takdir-Mu.


Sabtu, 03 Juni 2017

Be a Great People

BE A GREAT PEOPLE.

Alkisah, ada seorang anak sedang bersedih hati. Dari raut wajahnya tampak ada rasa ketidakpuasaan dalam dirinya. Yah, dia tidak berhasil menjadi seorang juara pada sebuah kompetisi bergengsi yang diadakan oleh salah satu universitas negeri terbesar di negeri ini. Dia hanya menempati urutan ke sepuluh dari seluruh peserta se Indonesia. 

Sebenarnya apa yang sudah diraihnya itu sangat spektakuler, sebuah lomba yang dianggap sangat bergengsi bagi seluruh sekolah di Indonesia. Khususnya pada jenjang Sekolah Menengah Atas. Hampir semua peserta sudah mempersiapkan diri mereka jauh hari sebelum pelaksanaan lomba. Ada yang setahun sebelum pelaksanaan, enam bulan sebelum pelaksanaan, minimal tiga bulan sebelum pelaksanaan. 

Si anak dan temannya satu team hanya mempersiapkan diri mereka tiga hari sebelum pelaksanaan lomba. Itupun mereka masih harus belajar sendiri, tanpa bimbingan siapapun. Alhamdulillah ibu si anak tersebut bisa memfasilitasi dengan membelikannya beberapa buku sebagai pegangan. Belajarlah dia hanya dari buku yang dibelikan oleh ibunya.

Anak tersebut akan mengikuti Lomba Ekonomi Islam, dengan peserta yang terdiri dari seluruh sekolah SMA bergengsi se Indonesia. Bisa dibayangkan, betapa beratnya perjuangan yang harus dia lakukan untuk bisa mengalahkan semuanya. Persaingan yang tidak mudah dan sangat ketat. Harus benar-benar bekerja keras untuk bisa memenangkannya.

Tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Perlombaan bergengsi yang diadakan rutin setiap tahun oleh Universitas Airlangga, Surabaya. Seluruh peserta berjuang keras untuk bisa mendapatkan nilai yang tertinggi. Harapannya tak lain dan tak bukan adalah menjadi yang terbaik diantara peserta yang ikut.

Seleksi begitu ketatnya. Semua peserta sibuk dengan soalnya masing-masing. Mereka begitu seriusnya, bahkan untuk sekadar melihat ke teman sebelahnya saja sudah tidak bisa dilakukan oleh mereka. Semua perhatian dan pikiran mereka tertuju pada soal-soal yang ada di hadapan mereka.

Hampir seharian mereka menjalani semua itu. Wajah-wajah lelah tampak tergambar di raut muka mereka. Semua tegang dan berdebar-debar. Karena ini adalah sebuah penentuan. Penentuan apakah mereka akan menjadi yang terbaik atau justru yang harus rela mundur karena nilai mereka masih di bawah team yang lain.

Perlombaan selesai. Tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Pengumuman hasil serangkaian tes selama sehari. Dan alhamdulillah benar, team si anak menduduki urutan ke sepuluh dari lima puluh dua peserta. Sebuah prestasi yang sangat luar biasa. Dia mampu mengalahkan sekolah-sekolah yang sudah punya nama, seperti MAN Cendekia dan MAN 1 Malang. Great benar.

Rupanya kemenangan tersebut tidak mampu memuaskan hati si anak, dia masih merasa belum puas dengan apa yang sudah diraihnya. Kekalahan tipis,hanya terpaut dengan koma saja. Benar-benar sebuah kekalahan yang membuat dirinya shock. Kenapa hanya berbeda koma. Dan kalau sekolahnya mempersiapkan dirinya sejak awal, dia yakin akan bisa menjadi yang terbaik diantara semua peserta yang ikut.

Besoknya, sang anak bertemu dengan ibunya. Wajahnya tampak lesu, tak bercahaya. Terasa benar gurat kekecewaan di wajah tampannya. Senyumnya tersimpan dalam rasa ketidakpuasannya. Seketika, semua itu ditumpahkannya pada ibunya. Sang ibu hanya diam mendengarkan, sambil sesekali memegang tangan putranya. Senyum tak lepas dari bibirnya. Sebuah kekuatan maha dahsyat sedang dipersiapkannya untuk putra tersayangnya. 

Cerita pun selesai. Si anak masih tampak sangat kecewa. Perlahan si ibu menggenggam tangan anaknya dengan agak kuat. Dipandangnya wajah anaknya... dalam. Senyum manisnya mencoba memasuki hati dan jiwa anak tersayangnya itu. Mencoba mengurai ketegangan yang telah dialami anaknya.

Perlahan dia berkata, "Anakku, apa yang engkau lakukan itu sangat hebat bagi ibu. Mengalahkan lima puluh dua peserta dan meraih urutan kesepuluh. Great benar. Kenapa harus bersedih. Tersenyumlah dan semua akan indah".
"Iya bu, tapi aku masih belum puas dengan semua ini," jawab si anak.
Sang ibu mengernyitkan keningnya. Senyum kembali terkembang.
"Apa yang membuatmu masih belum puas nak?" tanya si ibu.
"Nilai akhirnya itu. Hanya terpaut koma dan tidak banyak," jawab si anak sambil merajuk.
"Hmmm, itu masalahnya. Sekarang ibu tanya kepadamu, berapa lama kamu mempersiapkan semua ini?" tanya si ibu.
Si anak terdiam. Perlahan matanya tertuju pada mata ibunya.
"Hanya tiga hari bu. Memang sih, mereka sudah mempersiapkannya jauh hari sebelum perlombaan. Ada yang setahun, enam bulan, tiga bulan dan ada juga yang sebulan. Aku harus belajar sendiri bu selama tiga hari," jawab sang anak.
Diusap kepala anaknya. Sang ibu tersenyum. 
"Anakku, coba bayangkan. Mereka sudah mempersiapkan diri sangat awal, sementara kamu sangat akhir. Artinya adalah bahwa memang sudah sepantasnya kalau mereka menang. Tapi apakah kamu tidak bersyukur kepada Allah, atas apa yang sudah diberikan-Nya kepadamu?" tanya si Ibu.
"Spektakuler benar kan? Dalam waktu tiga hari, kamu bisa mengalahkan mereka yang sudah mempersiapkan dirinya terlebih dahulu. Lalu nikmat mana yang tidak engkau syukuri?" tanya si Ibu.

Sang anak terdiam. Perlahan guratan kekecewaan menghilang dari wajahnya. Berganti sebuah senyuman yang paling manis. Setelah kekalahannya. 

Si ibu selalu menekankan kepada anaknya bahwa semua itu adalah takdir yang harus diterima. Karena dibalik setiap takdir Allah, akan ada keindahan yang diselipkan oleh Allah untuk hambanya. Mulailah si ibu memeluk anaknya. Mencium pipi dan keningnya. 

Dengan suara lemah lembut, berkatalah dia... "Anakku, seorang juara itu tidak harus berkalungkan medali di leher. Atau memegang piala di tangan. Juara sejati itu adalah perlu bukti nyata. Bukan sekadar semua atribut di dada. Kamu tahu, kamu sudah sangat hebat anakku. Mampu mengalahkan 52 peserta lain dan menduduki urutan ke sepuluh, padahal kamu hanya belajar dalam tiga hari. Seperti yang kamu tadi ceritakan, ada yang sudah mempersiapkan diri selama setahun, ternyata jauh di bawahmu. Bahkan sekolah X, yang merupakan sekolah favorit dan selalu menjadi juara disetiap event lomba, kalah denganmu. Ayo, angkat kepalamu. Tersenyumlah, karena Allah tidak akan pernah salah dalam memberikan sesuatu kepada hambaNya. Siapa tahu, dengan tidak menjadi juara sekarang ini, justru Allah memberikan sebuah pelajaran berharga buat dirimu... Coba renungi dan resapi. Tidak usah iri atau dengki dengan prestasi orang lain. Karena itu sudah diatur oleh Allah. Jangan jadi pecundang, yang menghancurkan dan mengorbankan orang lain hanya karena ambisi dirimu yang berlebihan.Ingatlah bahwa setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan. Tidak ada kesempurnaan dalam diri manusia. Berbuat baik kepada orang lain, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda dan selalu beraikap sportif, akan menjadikan dirimu seorang Juara Sejati. Jadilah orang hebat denga cara yang hebat, bukan dengan menjadi pecundang yang sukanya menghancurkan orang lain dengan cara manis tapi tidak menyenangkan. Ingatlah selalu, bahwa setiap apa yang kamu lakukan akan ada balasan yang akan kamu terima nanti. Ingatlah bahwa seorang petani hanya menanam sebiji pohon mangga, akan tetapi, ketika panen, dia akan memetik buah mangga yang jumlahnya lebih banyak dari apa yang ditanamnya. Bisa seratus atau dua ratus buah, bahkan lebih. Kamu selalu menjadi juara di hati ummi sayang...ingatlah Allah selalu agar lurus langkahmu. Jangan pernah ingin menjadi THE WINNER dengan menghancurkan orabg lain. BE A GREAT PEOPLE LIKE RASULULLAH. BE A GOOD WAY... THE WAY OF ALLAH". 

Si anak menengadahkan wajahnya, senyumnya terkembang. Pandangan matanya lurus ke depan. Dia bersyukur punya seorang ibu yang selalu memberikan nasehat terbaik dalam hidupnya. Sejak dirinya masih kecil sampai sekarang. Bahkan dia tahu sendiri, ibunya selalu berusaha sabar dan ikhlas dalam setiap keadaan, serta berpikir positif kepada Allah. Ibunya selalu berusaha memaafkan siapa saja yang menyakitinya. Termasuk memaafkan dirinya setiap kali dia melakukan kesalahan... Yah, Rasulullah selalu dijadikan sebagai contoh dalam kehidupannya. Meskipun sulit menjalaninya. Karena di dalam diri Beliau ada contoh terbaik dalam menjalani hidup dan kehidupan.

Syukurku Tertambat di sini

Syukurku Tertambat di sini

Saya berjalan perlahan menyusuri gang kecil di tepi sebuah sungai. Pemandangan khas yang dulu ketika saya kecil, hampir setiap hari saya nikmati. Lambain baju yang digantung di depan rumah, menghiasai sepanjang jalan yang saya lewati.
Seperti mengingat masa lalu, anganku pun melayang jauh ke empat puluh tahun yang lalu. Aku dengan teman-teman kecilku. Berlarian di sepanjang sungai di depan rumah saya. Terkadang, saya masuk ke sungai itu untuk menangkap ikan gatul yang banyak hidup di sana. Meskipun bayrannya adalah, kaki saya gatal-gatal dan memerah.
Saya sangat menikmati masa kecil saya. Tanpa tekanan dan paksaan. Bapak dan Ibu saya adalah orang yang demokratis sekali. hampir sebagian besar waktu kecil saya, saya habiskan dengan bermain. Mashaa Allah benar. Semua mengalir indah, seindah aliran air sungai yang bening dan mengalir perlahan.
Alunan surah Yaasin mengiringi kedatangan saya di TPQ Ar-Rohmah yang berlokasi di jalan Pacar Kembang XII/32, Surabaya. Saya mengira kalau lokasi TPQ tersebut adalah di sebuah masjid atau rumah yang besar. Bukan di gang sekecil ini. Benar-benar surprise dari Allah yang tak ternilai harganya. Saya benar-benar terkejut dengan surprise tersebut.
Tidak hanya itu, saya juga sangat terkejut, ketika melihat betapa banyaknya anak-anak dan ibu-ibu yang berkumpul di situ. Mashaa Allah, diluar perhitungan saya. Mereka memenuhi hampir separo gang. Jumlahnya sekitar dua ratusan. Pantas saja semua warga tahu kalau di rumah bu Muntik ada pengajian. Ternyata kegitan tersebut adalah sebuah agenda rutin tahunan.
Setiap tahun, menjelang bulan puasa, mereka selalu mengadakan kegiatan rutin tersebut. Jumlah jama’ah mereka lebih dari tiga ratusan. Tapi yang sekarang diundang pada acara tersebut hanya anak yatim dan dhuafa. Jadi tidak terlalu banyak. Karena sekalian memberikan santunan kepada mereka.
Saya pun diperkenalkan kepada pengelola atau yayasan Ar-Rohmah, bu Mutmainnah atau biasa dipanggil bu Muntik. Jangan sampai salah mengucap dengan mengganti huruf vokalnya, nanti malah beda arti (mantik=pemantau jentik-jentik). Itu yang diucapkan Habbi, boneka muppet yang mendampingi saya bercerita di sana.
Riuh rendah suara anak-anak dan ibu-ibu memenuhi suasana pengajian tersebut. Yah, mereka sedang menikmati kue bikang dan air mineral gelas yang dibagikan oleh panitia. Sembari menikmati kegembiraan mereka, saya juga mencoba kue bikang kegemaran saya itu. Subhanallah, nikmat sekali. sudah lama saya tidak menikmatinya.
Tibalah saatnya saya harus bercerita di hadapan anak-anak dan orang tuanya. Habbi saya letakkan di tangan kanan saya, sementara tangan kiri memegang microphone. Salam pun saya ucapkan. Habbi menirukan dengan logat kanak-kanaknya. Balasan salam sangat meriah. Terlihat wajah-wajah mereka tertawa bahagia.
“Ya Rabb, semoga mereka bisa medapatkan kebahagiaan dengan cerita yang saya sampaikan,” batin saya sembari memainkan Habbi. Wajah-wajah ceria itu tertawa mendengarkan dialog antara saya dengan Habbi. Bahagia rasanya bisa menghibur mereka, anak- anak yatim dan dhuafa. Senyum mereka adalah kebahagiaan buat saya.
Semua larut dalam cerita yang saya bawakan. Cerita nabi Nuh dan Akhlaq Mulia Rasulullah begitu memesona mereka. Sepertinya mereka belum pernah mendengar cerita nabi tersebut. Iba hati saya mendengarnya. “Nanti saya akan berbicara dengan bu Munthik, agar saya diberi kesempatan untuk bisa membahagiakan mereka pada kesempatan lain.
Acara berlangsung dengan meriah. Cerita yang saya sajikan sangat mereka sukai. Tentang nabi Nuh dengan anaknya yang bernama Kan-an. Juga cerita tentang akhlaq mulia Rasulullah, tentang seorang gadis kecil di kota Medinah pada saat lebaran.
Sebelum saya berpindah ke lokasi bercerita yang satunya, saya duduk di depan rumah bu Munthik. Ada seorang perempuan setengah tua sedang  menggendong cucunya. Bayi  kecil yang lucu, sayang saya lupa menanyakan siapa namanya. Saya segera mendekat dan berpindahlah sang bayi ke tangan saya.
“Bu, boleh saya ambil cucunya menjadi anak saya?” tanya saya pada perempuan tersebut, yang tak lain adalah nenek dari si bayi. Penuh harap, semoga nenek tersebut mau melepaskan si bayi lucu kepada saya. Mbak Iffah mengatakan bahwa ibu si bayi sudah meninggal pada saat melahirkan bayi tersebut. Iba hati saya mendengarnya.
“Ya gak boleh kak, saudara-saudara juga minta semua, tapi tidak saya berikan. Ini hiburan saya, pengganti ibunya,” jawab si nenek seolah berusaha mengatakan bahwa cucunya tidak akan dia berikan kepada saya. Entah mengapa, hati saya segera tertambat ke bayi tersebut. Mungkin karena wajah polosnya yang lucu itulah yang membuat saya jatuh cinta padanya.
Kami pun berbincang-bincang tentang ibu si bayi dan ayahnya. Dari cerita yang disampaikan si nenek, saya benar-benar sedih mendengarnya. Butiran bening mengambang di kelopak mata saya. Aduh, jangan sampai keluar, nanti saya malu dibuatnya. Ketahuan kalau cengeng.
 Rabbi, semua takdir yang telah Engkau gariskan untuk saya, ternyata mempunyai makna yang sangat mendalam. Ada kebahagiaan yang Engkau selipkan dalam setiap torehan takdir-Mu. Dan kali ini saya benar-benar menikmatinya dengan limpahan rasa syukur kepada-Mu Ya Allah.
Kekecewaan karena tidak dapat berangkat bersama dengan teman-teman ke Jakarta, telah digantikan Allah dengan kebahagiaan lain. Yang mungkin saja tidak pernah akan saya dapatkan kalau saya ke Jakarta. Seorang bayi mungil tanpa ibu sempat menghilangkan sedikit kekecewaan hati saya.
Syukurku akan semua takdir-Mu aku labuhkan di tempat ini, sebuah Taman Pendidikan Qur’an yang belum pernah aku ketahui sebelumnya. Bukan kebahagiaan karena meteri saja, melainkan kebahagiaan dalam hati. Tak akan bisa dibayar dengan apapun.
Syukur ini saya tambatkan di tempat yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Di TPQ Ar Rohmah, dari santri-santri mereka itulah saya banyak belajar tentang arti kehidupan. Miss you mbak Iffah dan bu Munthik…



Kamis, 16 Februari 2017

My Dream... I will get it

Aku tertegun ditengah keramaian delta plaza.  Anganpun mengembara beberapa tahun yang lalu.  Bahkan lebih panjang dari itu.  Ketika aku SMA. Penuh idealis dan keyakinan tinggi.  Akan sebuah cita-cita.  Jurnalis dan penulis. Itulah sebabnya,  aku menolak sewaktu bapakku meminta ikut UMPTN,  dengan pilihan utama Fakultas Kedokteran. Tapi apa daya,  anak jaman dulu berbeda dengan sekarang.  Suka atau tidak aku harus mau dan suka dengan pilihan orang tuaku.
Hatiku berontak.  Meskipun aku tahu bahwa itu adalah sebuah fakultas yang cukup bergengsi,  tapi aku tidak menyukainya.  Aku ingin menjadi seorang wartawati dan penulis.
 Kemampuan yang sudah aku miliki sejak Sekolah Dasar. Kelas lima aku sudah dipercaya mengelola majalah dinding sekolah.  Dengan nego yang meyakinkan kepada guru kelasku. Kalau aku ingat,  aku ini punya bakat jadi public relation juga dan seorang negociator yang handal.  Aku tersenyum sendiri mengingatnya. Pengalaman lucu semasa SD.  
Tes masuk berlangsung tertib dan lancar.  Kami mengerjakan soal dengan serius.  Tapi,  aku mengerjakannya setengah hati.  Bahkan aku jawab sekenanya saja tanpa berpikir.  Ya,  agar aku tidak diterima di fakultas itu. Ternyata benar,  hasilnya jelas dan pasti.  Aku tidak diterima.  Bapakku memutuskan kalau aku harus kuliah sekretaris agar bisa kerja sambil kuliah.
Dengan gaji bapakku sebagai guru PNS yang pasti tidak akan mampu membiayai kuliahku.  Adikku ada empat orang dan semua membutuhkan biaya sekolah yang tidak murah. Makanya aku harus ambil jalan pintas,  kuliah D1 sekretaris. Selanjutnya harus kuliah.
Alhamdulillah rencana bapakku sesuai dengan takdir yang digariskan oleh Allah. Aku selepas kuliah D1 Sekretaris langsung diterima menggantikan sekretaris sebuah perusahaan milik pak Bob Hasan.  Aku diterima karena nilaiku tinggi dan sewaktu tes aku lolos.  Berhasil mengerjakan semua yang diminta dalam waktu singkat.  Jadah aku bekerja di perusahaan besar kerjasama dengan perusahaan dari Amerika.
Mau tidak mau,  aku harus lancar berbahasa Inggris.  Lisan maupun tulisan.  Yah,  tuntutan kerja. Aku harus bisa.  Sebuah tantangan yang menarik untuk diterima.  Akupun lalu kursus bahasa Inggris selama tiga tahun.  Sampai kelas advance. Mashaa Allah benar.  Aku yang dulu selalu mendapat nilai dibawah lima setiap pelajaran bahasa Inggris,  sekarang menjadi master di kelasku.  Semua teman sekelas mengakui kepandaianku,  baik writing maupun speaking.
Kebaikan yang diberikan Allah dan tidak ternilai harganya adalah aku boleh berjilbab di kantor. Itu semua karena-Mu Ya Allah.  Engkau yang memudahkan semuanya. Kalau ada rekor MURI untuk yang pertama berjilbab di kantor,  Inshaa Allah akulah orangnya.  Jilbabku adalah jilbab yang sempurna,  gamis dan kerudung besar lengkap dengan kaos kakinya.
Tibalah saat yang dinanti.  Aku masuk kuliah jurusan jurnalistik. Dan juga menjadi pimred sebuah buletin muslimah. Mashaa Allah benar.  Dua nikmat yang tak ternilai dengan apapun.
Di kampus,  aku sangat familier dikalangan mahasiswa seangkatan dan kakak kelasku.  Mashaa Allah, I am the best.  Semua nilaiku hampir semuanya sempurna.  Masa perkuliahan aku selesaikan. Dalam tiga setengah tahun.  Karena IPK ku selalu diatas tiga setengah.
Di kantor aku dipercaya memegang semua fasilitas kantor.  Di teman-teman pengajian menjadi pimred buletin mereka.  Dan di kampus menjadi mahasiswa terbaik sejurusan. Rabbi,  betapa nikmat ini tak terhingga. Alhamdulillah for all Rabbi.
Sekarang,  aku menjadi seorang guru PAUD.  Sebuah pekerjaan yang paling aku benci. Tidak pernah terbersit sedikitpun kalau aku jadi guru Anak Usia Dini. Karena aku tahu,  gaji seorang guru tidak cukup untuk biaya hidup selama sebulan. Apalagi untuk biaya sekolah,  dengan pilihan sekah yang berkualitas.
Dari kebencian itu sekarang malah menjadi kecintaan yang mendalam.  Aku sangat merindukan murid-muridku.  Mereka seperti anakku sendiri. Miss you all...
Berawal dari tawaran pak ihsan untuk menulis artikel parenting di media guru. Aku merasa tertantang untuk menulis kembali. Sebelumnya sudah aku lakukan di blog ku. Tapi gak kontinyu.  Apabila ada waktu. Dan judul buku dan novel sudah ada puluhan,  tapi belum tersentuh. Rasanya tak mungkin aku bisa mempunyai sebuah buku hasil karyaku.  Sebuah buku.  Bukan jumlah yang banyak.
Ternyata Allah memudahkan aku dalam meraih impianku. Mashaa Allah benar. Aku dipertemukan dengan pak Ihsan yang merupakan CEO dari team media guru. Beliau menawarkan kepadaku untuk mengikuti kelas menulis opini. Tantangan itupun aku terima. Meski aku tahu bahwa untuk bisa langsung menjadi sempurna tidaklah semudah itu.aku perlu latihan .. latihan dan latihan agar bisa terbiasa kembali menulis, sebagaimana ketika aku masih menjadi pimred bulletin muslimah dulu.  Jadilah aku harus kejar tayang agar semua target tercapai.  Benar-benar tersiksa. Aku sampai begadang selama beberapa hari hanya untuk memenuhi target menulis yang diminta. Menulis opini. Karena sudah terlalu lama tidak aku pakai, ya jadinya agak kelabakan juga.
Kesulitan juga bertambah, karena gaya tulisanku sudah mulai berubah. Bukan opini murni tapi semi fiksi. Yah, karena aku juga seorang story teller, pencerita boneka. Jatuh bangun aku harus mengumpulkan semua tenaga dan kemampuan untuk memenuhi target yang diwajibkan… satu opini. Alhamdulillah, aku berhasil membuat dua opini. Bukan hanya satu opini. Keduanya diterbitkan oleh koran local, Harian Duta dan Harian Bhirawa. Mashaa Allah, senangnya hatiku. Akhirnya aku berhasil juga. Tetapi, negatifnya adalah, aku selalu ngedrop setiap kali telah menyelesaikan  tulisanku. Tulisan jadi,  aku ambruk.
Tidak berhenti disitu, tantangan selanjutnya adalah kelas menulis PTK dan kelas menulis buku. Aku semakin keranjingan belajar dan belajar. Aku ingin mimpiku bisa terwujud nyata. Menjadi seorang jurnalis dan penulis buku parenting. Aku pilih menulis buku parenting, karena aku ingin membagikan pengalaman mengajarku selama tujuh belas tahun ini, bersama dengan sekolah kreatifku kepada semua orang tua dan guru. Agar mereka bisa menjadi orang tua dan guru yang hebat untuk anak dan muridnya.
Dengan tekad dan keinginan yang kuat serta impian yang selalu terbayang dan membuncah dalam dada, Inshaa Allah semua itu akan bisa terwujud. Milikilah impian setinggi-tingginya. Raihlah dengan cara yang baik dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah. Jangan sekali-kali menghancurkan orang lain untuk meraih impian itu, karena justru itulah yang akan menjadi kunci kehancuranmu.
Akhirnya, ternyata dari pressure yang diberikan lewat deadline itulah aku bisa save dalam menulis. Dan yang terpenting adalah...  Impian untuk membuat sebuah buku bisa terwujud. Make your dream be real with a good way like Rasulullah.
Jakzakumullah media guru dan teman-teman yang sudah men-support-saya sampai hari ini. Miss you all from my heart.


I need you Mommy...

Pagi itu, seorang siswaku datang dengan wajah cemberut. Wajah cantiknya ditekuk. Tiada senyum manis yang selalu menghias bibir tipisnya. Bibir tipisnya terkatup memanjang. Kakinya dihentakkan dengan keras. Seolah sedang ingin menghancurkan apapaun yang ada dihadapannya. Dihempaskan pantatnya di kursi panjang yang terpajang di depan pagar sekolah. Wajahnya menunduk dan matanya menatap kebawah penuh kemarahan.
“Assalamu’alaikum,’ sapaku mencoba mencairkan suasana hatinya.
Hanya lirikan mata tanda tak bersahabat yang ditunjukkan olehnya. Tanpa suara dan tanpa perasaan apapun. Dingin, sedingin hatinya yang sedang membeku karena amarah.
“Aih, anak cantik ini kok hari ini tidak cantik kenapa,? Sapaku lagi, mencoba membuat bongkahan es dihadapanku meleleh.
Alhamdulillah, dia tiba-tiba memelukku. Tangisnyapun tumpah di gamisku. Aku biarkan kepala mungilnya dalam dekapanku. Aku usap kepalanya sembari memeluk tubuh mungilnya. Perlahan tubuhnya bergerak-gerak, pertanda tangisnya semakin menjadi. Akupun perlahan melepaskan pelukannya dan berjongkok dihadapannya.  Kutatap wajah sembabnya sembari tersenyum menatap mata hitamnya.
“Anak cantik, kenapa kok pagi-pagi sudah menangis?” ucapku sembari mengusap butiran putih yang terus meluncur membasahi pipinya yang putih. Hanya sedu sedannya yang terdengar. Kepalanya merunduk, tak mau menatap wajahku. Ada apakah gerangan? Diluar kebiasaannya. Biasanya si cantik ini selalu datang dengan wajah ceria dan penuh tawa. Wow.. wow… wow… PR buatku hari ini.
“Mommy…..”, hanya itu yang terucap dari bibir tipisnya.
“Mommy? Tadi mommy marah dengan adik?”, tanyaku sembari mendudukkannya di kursi bambu panjang yang ada dibelakangnya. Kepala kecilnya menggeleng, menunjukkan bahwa mommynya tidak marah kepadanya. Lalu?
Perlahan tubuhnya bergerak mengikuti arahan tanganku. Alhamdulillah, dia sudah mulai mau menerimaku. Artinya, sebuah pintu terbuka dan aku bisa masuk kedalamnya.
“Mommy kenapa sayang,?” rayuku mencoba menghancurkan bongkahan es yang masih tersisa didalam hatinya. Perlahan aku tatap mata hitamnya yang masih menyimpan sisa air mata dipelupuknya.
“Aku ditinggal kerja mommy. Aku ingin ditunggui mommy,” sambil mendongakkan kepalanya menatap mataku. Mata kami bertatapan. Aku mencoba memasuki mata hitam itu lewat tatapan mataku dan senyuman di bibirku.
Subhanallah, ternyata itu sumber masalah gadis kecil ini. Mommynya memang bekerja. Papinya juga. Lengkap sudah kedua putrinya ditinggal kerja sampai malam hari. Terkadang ketika kedua orang tuanya pulang, kedua buah hati mereka sudah tidur. Baru keesokan harinya mereka bisa bercengkerama dengan kedua buah hatinya, itupun juga berbatas waktu. Karena harus berangkat ke kantor kembali untuk melaksanakan kewajiban kembali di kantor tempat mereka bekerja.
Sekilas, dari cuplikan kisah tersebut diatas, ada garis merah yang bisa kita ambil hikmahnya. Anak tidak hanya butuh pemenuhan secara materi, tetapi juga perlu pemenuhan kebutuhan rohaninya. Yaitu kebutuhan akan kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuanya. Sama dengan kita sebagai orang dewasa. Kita tidak hanya butuh pemenuhan kebutuhan secara materi, melainkan juga perlu pemenuhan kebutuhan secara rohani juga. Perlu di beri kasih sayang, baik dari pasangan kita maupun anak-anak kita. Juga perlu dimengerti apa maunya kita. Sama dengan anak kita.
Penggalan percakapan tersebut diatas adalah sebuah fakta riil yang mencoba membuka mata hati kita sebagai orang tua, bahwa anak kita adalah makhluk hidup yang tidak hanya butuh materi saja, melainkan non materi. Apabila kedua kebutuhan tersebut tidak dapat terpenuhi secara maksimal, maka akan ada ketimpangan yang muncul dalam kehidupan kita. Sebagai orang tua, mungkin kita punya penyaluran yang positif dengan kondisi yang dihadapi. Akan tetapi, sebagai seorang anak, apalagi masih usia dini, apakah mereka mampu melakukan sebagaimana yang kita lakukan?
Beruntung si gadis kecil tadi masih bisa menangis untuk menumpahkan semua kekesalan dalam hatinya. Seandainya tidak? Apa yang akan terjadi padanya? Sebuah traumatis psikologis yang akan membekas dalam jiwanya dan akan berpengaruh terhadap perkembangan psikologinya. Kemauannya mengutarakan apa yang dialaminya memudahkan aku dan orang tuanya dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Tidak ingin ditinggal mommynya kerja.
Banyak hal yang menjadi penyebabnya. Salah satunya adalah ketidak nyamanan yang dialaminya ketika dia berada di rumah. Disaat kedua orang tuanya sedang bekerja. Traumatis yang mungkin terjadi pada saat kedua orang tuanya tidak berada di rumah bisa menjadi bom waktu yang suatu saat akan meledak. Menghancurkan semua yang ada dihadapannya, termasuk orang tuanya sendiri. Dia bisa meledak-ledak seperti kapal yang terbakar dan siap meledak setiap saat.
Perhatian dan kasih sayang yang terlimpah dari kedua orang tua dan orang-orang di sekitarnya, sangat diharapkan oleh setiap anak, bukan hanya gadis kecil yang ada dihadapanku. Pemenuhan kasih sayang yang pas akan menjadikan akan nyaman dimanapun dia berada, kepercayaan didirnya akan muncul seiring dengan semakin kuatnya ikatan kasih sayang antara dirinya dengan kedua orang tuanya, juga orang-orang yang ada disekitarnya.

Di sekolah, dia akan menjadi anak yang tidak penakut dan berani tampil ke depan tanpa harus dipaksa oleh ibu gurunya. Rasa percaya diri yang tumbuh karena siraman kasih dan sayang serta perhatian dari kedua orang tua akan menjadi energy positif bagi dirinya.
Akhirnya, dengan keterus terangan dari si anak, aku bisa membuat sebuah formula sebagai solusi dari permasalahan tersebut. Aku segera menghubungi mommy nya. Sebagai si “sumber masalah”. Hasil akhirnya adalah, kedua orang tuanya pasrah kepada sekolah bagaiman solusi terbaik atas permasalahan tersebut. Nah, lebih memudahkan aku dalam mengelola si gadis kecil tersebut.
Hari itu juga, sebelum pembelajaran berakhir, aku bercerita kepada semua siswa tentang seorang anak perempuan yang tidak mau ditinggal mamanya bekerja. Seketika, mata hitam itu menatapku penuh makna. Aku hanya tersenyum, mencoba berada di posisi yang tidak memihak siapapun. Kejadian tadi pagi juga tidak aku ambil sebagai contoh. Tokoh utama sengaja aku ambil seorang anak laki-laki agar dia tidak merasa kalau dirinya dihakimi.
Alhamdulillah, besok siang mommynya telepon bahwa gadis kecilnya sudah tidak menangis lagi ketika ditinggal berangkat bekerja. Tidak serta merta dari cerita yang aku sampaikan ketika di sekolah, tetapi mommynya juga membuat kesepakat dengan si gadis kecilnya. Kesepakatan bahwa mommynya tidak akan pulang tertalu malam lagi.
Seorang ibu, kelihatannya sepele. Akan tetapi mempunyai ikatan hati yang sangat kuat kepada anak-anaknya. Jika kedekatan tersebut terus dipupuk dan dipelihara, Inshaa Allah tidak ada anak yang bermasalah di sekolahnya, ataupun di rumah.  Khususnya untuk anak usia dini. Yang sedang membutuhkan banyak perhatian dan pengakuan dari orang tua dan lingkungan sekitarnya.
Mommy… I need you. Don’t let me alone.



ALPHABET

Penjelasan yang diberikan oleh pemateri tentang disleksia begitu menghunjam dalam hatiku.  Rabbi,  selama ini aku telah berdosa kepada anakku.  Aku begitu memaksakan sesuatu yang seharusnya tidak boleh aku lakukan. 
Terbayang wajah polosnya saat bertanya kepadaku tentang huruf-huruf yang aku sebutkan.  Wajahnya berubah kebingungan, saat akan menuliskan huruf-huruf yang hampir sama penulisannya.
“Ummi,  huruf m itu yang bagaimanakah? “, tanyanya polos saat aku mengajarinya menulis dengan metode dikte. Itu baru huruf M, belum hururf-huruf yang lain.
Aku berusaha menahan diri agar tidak sampai terbawa emosi.  Aku hela nafas perlahan.  Mashaa Allah,  selalu ini yang terjadi.
“Yang kakinya tiga nduk, “ jawabku setengah menahan rasa kesalku.
Ya Allah...  Sabarkan hatiku.  Mengapa si bungsu ini begitu susah menghafalkan huruf-huruf abjad.  Padahal ketiga kakaknya, tidak mengalami kesulitan yang berarti, ketika harus menghafalkan dua puluh enam abjad ini.
Aku sudah mencoba berbagai metode untuk mengajarinya.  Mulai dari alat peraga kartu huruf,  balok huruf,  sampai media digital. Semua berhenti pada satu titik kulminasi.  Selalu lupa bila bertemu dengan huruf yang hampir sama.  Padahal jumlah huruf yang hampir sama jumlahnya juga lumayan banyak.
Mungkin ini adalah kesalahan yang harus aku tanggung resikonya. Anakku yang bungsu ini masuk kelas satu saat usianya lima koma delapan tahun.  Usia yang terlalu Dini.  Apalagi dia tidak pernah masuk ke jenjang sekolah untuk PAUD.  Langsung tancap gas ke kelas satu sekolah dasar.
Jadi waktu dia kelas satu,  dia hanya bisa menulis lingkaran untuk semua huruf. Lingkaran dengan model yang berbeda.  Wow,  kalau dipikir-pikir anakku ini adalah jenius.  Bayangkan,  dia bisa membuat dua puluh enam lingkaran yang berbeda untuk setiap abjad yang ada.
Setahun sudah terlewati.  Si bungsu masih seperti dulu.  Belum bisa membaca.  Bisa kalau diajari satu persatu.  Dengan mengeja persuku. Alhamdulillah,  dia mendapat ustadzah yang bisa memahami kekurangan dan kelebihannya. 
Memang untuk membaca dia masih kurang mampu.  Tapi jangan salah.  Nilai matematikanya selalu diatas sembilan.  Dia jago banget untuk berhitungnya. Aku jadi bingung juga melihat kondisi seperti ini. Kenapa matematika, yang notabene pelajaran yang dianggap sulit malah bisa dikerjakannya dengan baik.
Hafalan surat pendeknya spektakuler.  Bahkan dia mampu menghafalkan puisi yang dibacakan gurunya dalam beberapa waktu saja.  Tidak perlu hitungan jam.  Itu semua aku ketahui, karena ustadzahnya yang bercerita kepadaku.
Rabbi,  ada apa sebenarnya?  Mengapa dengan anakku yang bungsu ini?  Pertanyaan yang sampai anakku kelas empat baru terjawab.
Yah,  saat aku mengikuti pelatihan tentang disleksia.  Ketidak mampuan seseorang dalam mengenal huruf. Apalagi huruf yang punya kemiripan.
Si bungsu masih berada dalam zona aman sampai kelas tiga sekolah dasar. Jadi dia sekolah tanpa beban,  karena aku sudah membuat kesepakatan dengan ustadzahnya tentang dia.  Aku tidak menuntut apapun, yang terpenting anakku nyaman di sekolah. Jadi tidak ada pemaksaan kepadanya.  Ketika ulangan pun,  ada dispensasi khusus kepadanya. Jadi kalau hasil ulangan tulisnya kurang memuaskan, dikarenakan tidak selesai mengerjakan,  meskipun dia sudah diberi soal berbintang.
Anak-anakku sekolah di sekolah kreatif,  jadi untuk masalah akademik bukanlah hal yang sangat utama.  Meskipun tetap harus diutamakan. Makanya,  si bungsu tidak merasa terbebani ketika dia masih belum bisa membaca dengan lancar.  Dia senang ketika akan berangkat ke sekolah. 
Dibandingkan  dengan kakak-kakaknya,  dia paling rajin ketika akan berangkat ke sekolah.  Pagi sudah bangun dan mandi.  Ketika semua persiapan untuk ke sekolah sudah beres,  dia akan segera minta berangkat sekolah. Meskipun masih terlalu pagi. Itu karena dia merasa nyaman di sekolah.
Menginjak kelas empat,  guru kelas berganti.  Kebetulan aku bisa request ke ustadzahnya.  Aku ingin agar wali kelas anakku si ustadzah Sovi.  Guru cantik tapi terkenal killer. Entah kenapa,  tapi feeling ku mengatakan bahwa dia adalah yang terbaik untuk anakku.  Aku berharap dengan ustadzah Sovi menjadi wali kelas anakku,  anakku akan bisa membaca dengan lancar.  Aku tahu bahwa itu adalah sebuah impian yang pasti akan terjadi. Tidak mungkin anakku tidak bisa membaca. Inshaa Allah dia pasti bisa.
Awal masuk sekolah,  anakku sering protes.  Katanya sekolah tidak enak.  Susah dan tidak menyenangkan lagi baginya. Benarkah?  Ternyata,  dia memang ditarget oleh ustadzah Sovi untuk bisa membaca.  Bravo.  Semoga ini menjadi awal yang baik buat dia.  Really.  Alhamdulillah,  berkat kerjasama kami berdua ditambah dia les malam hari,  akhirnya membuahkan hasil.  Anakku sekarang sudah bisa membaca, meskipun masih perlu dilancarkan terus.
Kadang aku merasa berdosa telah berkolaborasi dengan ustadzah Sovi. Berkolaborasi ngerjain anakku sendiri.  Bagaimana tidak?  Kami sepakat bahwa untuk setiap ulangan,  baik harian,  tengah semester maupun akhir semester,  kami sepakat bahwa anakku harus mengerjakan sendiri tanpa dibantu oleh ustadzah.  Berapapun soal yang dijawab tidak menjadi masalah.  Ya,  karena jika nilai ulangan tulis belum memenuhi,  maka akan dilakukan ulangan lisan.  Khusus unyuk anakku,  jadi hasilnya memang riil.  Meskipun itu sebenarnya tidak diperbolehkan. Benar-benar ekstra. 
Yabg terjadi sekarang malah sebaliknya. Anakku yabg diawal sangat takut dengan ustadzah Sovi,  sekarang bahkan ustadzah Sovi menjadi ustadzah kesayangannya.  Ketakutannya berubah menjadi Cinta yang berdasar.  Adanya ikatan antara mereka saat kelas empat.  Bagaimana mereka berdua harus berjuang mencapai satu tujuan.  Anakku bisa membaca lancar.
Alhamdulillah setelah aku mengetahui bahwa anakku disleksia,  aku bisa mendapatkan sebuah solusi untuknya.  Dan good job.  Alhamdulillah karena- Mu Ya Allah semua bisa tercapai sesuai dengan yang aku harapkan.
Dialeksia bukanlah sebuah aib bagi orang tua.  Anak disleksia bukanlah anak yang bodoh. Mereka adalah anak-anak hebat yang diberikan Allah kepada kita.  Terimalah dengan tangan terbuka.  Beri dukungan dan motivasi agar dia bisa meraih mimpinya. Bisa membaca seperti teman-temannya. Bismillah...



Ih...Mama Bohong

Siang itu,  aku khusus meluangkan waktu untuk berjalan-jalan dengan anak-anak. Beberapa tempat aku tawarkan.  Pilihan jatuh pada Delta Plaza Surabaya. Selain lokasi yang tidak terlalu luas, kami juga tidak harus bingung untuk menunggu.  Ada panggung kecil berbentuk lingkaran yang disiapkan persis disebelah Utara information desk.
Kalau sedang tidak ada acara apapun,  panggung itu kosong,  sehingga bisa dimanfaatkan sebagai tempat duduk.  Pengunjung yang kelelahan setelah berbelanja bisa duduk disitu. Atau yang sedang menunggu teman atau saudara yang sedang berbelanja.
Sekilas aku layangkan pandanganku ke sekitar.  Ada beberapa abg dan juga ibu-ibu yang duduk di panggung tersebut. Semua terlihat kelelahan . Wajah sayu tanpa senyum dan sedikit guratan ketidak sabaran jelas tergambar di wajah mereka. Selain iti,  ada juga yang terlihat tidak sabar karena harus menunggu teman atau saudaranya dalam waktu yang mungkin agak lama.
Wajah manusia yang duduk diatas panggung itu penuh ketidak ramahan. Kalaupun tersenyum,  itu karena terpaksa sebab disapa oleh orang yang akan duduk disebelahnya. Rabbi, jangan sampai kondisi kota Jakarta akan dibawa ke sini,  di Surabaya. Aku tidak bisa membayangkan jika Surabaya menjadi seperti Jakarta. Manusia yang satu dengan yang lain tidak saling sapa,   apalagi membantu orang yang kesulitan. Hidup seperti apakah itu?
Sambil menunggu,  aku buka telepon genggamku.  Ah,  tiba-tiba muncul ide untuk menulis.  Mumpung suasana lagi pas... Full musik dan orang lalu lalang.  Seperti laptop yang full batteray, akupun mulai menulis di aplikasi word yang ada di telepon genggamku. Menulis tentang impian kecilku.
Khusyuk sekali aku menulis.  Semua mengalir dengan sendirinya. Tanpa beban dan rasa terbebani.  Sudah lama aku tidak melakukan aktivitas seperti ini.  Terakhir waktu aku kuliah. Sembilan belas tahun yang lalu. Kebiasaan makan di plaza sambil mencari inspirasi untuk bahan tulisan buletinku atau sekedar refresh sebelum ujian kuliah.
Sekilas perhatianku beralih ke anak kecil di sebelahku yang sedang merajuk pada mamanya.  Sepertinya serius sekali.  Mamanya bahkan harus menaikkan sedikit volume suaranya untuk membujuk gadis kecilnya.
Tidak berhasil.  Si gadis kecil masih merajuk bahkan sekarang dengan sedikit bertingkah.
“Sayang,  anak kecil gak boleh beli itu.  Hanya orang dewasa yang boleh,” bujuk si ibu.
“Gak mau.. Gak mau...  Mama bohong.  Tadi juga ada anak kecil yang makan disitu, “ sangah sang gadis kecil.
Mataku yang semula memandang si gadis kecil itu,  seketika beralih ke mamanya.  Merasa ada yang memandang dengan penuh makna,  seketika sang mama tersenyum kepadaku.  Tatapan matanya penuh makna.  Entah malu karena ketahuan berbohong, atau minta dukungan atas kebohongannya. Aku tidak begitu memperdulikannya. Karena fokus ke tulisanku.
Entah karena malu padaku atau apakah,  sang mama akhirnya mengaku kalah dan mengiyakan keinginan gadis kecilnya. Mereka berjalan beriringan meninggalkan aku yang masih berkutat dengan tulisanku.
Dari penggalan kisah singkat diatas,  ada sebuah pelajaran besar yang bisa kita ambil hikmahnya.  Pertama, tentang ibu sebagai sekolah pertama bagi anaknya dan yang kedua adalah tentang pentingnya sebuah kejujuran dalam hidup.
Ibu,  sosok yang satu ini sangat mulia. Bahkan Rasulullah pun begitu menghormati dan menghargai seorang ibu.  Dalam sebuah hadits,  beliau mengatakan bahwa yang harus dimuliakan yang pertama adalah ibumu,  yang kedua adalah ibumu dan yang ketiga adalah ibumu baru kemudian bapakmu. Artinya adalah bahwa ibu begitu memiliki kedudukan yang sangat mulia.
Sebagai seorang ibu,  ada sebuah tugas mulia yang dibebankan diatas pundaknya,  yaitu mendidik dan membesarkan anak-anaknya.  Karena memang seorang ibu adalah segalanya bagi anaknya. Contoh nyata bagi anak-anaknya. 
Sekolah yang paling handal dalam membentuk karakter dan kepribadian anak-anaknya.  Apapun yang dilakukannya pasti akan dilakukan oleh anaknya. Mudahnya,  anak adalah foto copi dari ibunya. Perilaku anak akan sama dengan perilaku ibunya.
Wanita tersebut diatas, mungkin tidak menyadari, bahwa apa yang dilakukannya, pada suatu saat nanti akan ditiru oleh anaknya. Contoh nyata perilaku berbohongnya, pasti akan ditiru oleh gadis kecilnya suatu saat nanti. Sepertinya tidak mungkin akan terjadi.  Alasannya adalah si gadis tadi masih kecil dan belum tahu apa-apa.  Benarkah?
Realitanya tidaklah seperti itu. Justru karena dia masih kecil, maka daya rekamnya akan semua kejadian yang ada disekitarnya akan sangat kuat. Yah,  masa golden age, dimana semua informasi dan pengalaman hidup yang dilihat dan dialaminya,  akan menancap dalam hati dan otaknya.  Menancap kuat dan akan teringat seumur hidupnya.
Buktinya...  Pernah ada seorang wanita usia sekitar lima puluhan. Pada suatu hari,  dia koma. Tidak sadarkan diri.  Dan ketika dia sadar,  yang diingatnya adalah pengalamannya ketika kecil. Menyanyikan lagu anak-anak semasa dia kecil. Hal-hal yang berhubungan dengan masa kecilnya tidak hilang dari ingatannya.
Masa golden age adalah sebuah momentum yang sangat mendasar bagi seorang anak.  Juga masa yang paling peka dan menentukan apakah seorang ibu akan berperan besar dalam kehidupan anak selanjutnya ataukah tidak.
Itulah sebabnya mengapa seorang ibu haruslah pandai.  Khususnya dalam mengelola anak-anaknya.  Ditangan seorang ibu hebat,  akan lahir anak yang super hebat. Rasulullah menjadi hebat salah satunya adalah karena peranan wanita-wanita hebat disekitarnya.
Selanjutnya adalah yang kedua,  yaitu tentang kejujuran.  Kejujuran adalah kunci kesuksesan hidup,  baik dunia maupun akhirat.  Yang akan menentukan apakah seseorang itu mulia dihadapan Allah atau tidak.
Penggalan kisah diatas,  secara tidak langsung, merupakan salah satu penghancuran karakter positif anak.  Menghancurkan fitrah anak tanpa disadari oleh para orang tua.  Apalagi jika orang tuanya tidak bisa memilah antara yang halal dan tidak.  Maka akan lahirlah generasi pembohong,  yang akan menghancurkan bangsa ini secara perlahan.
Pernahkah terpikir dalam hati dan benak kita,  bahwa apapun yang dihasilkan dengan cara tidak halal,  akan berbuah ketidak halalan juga.  Jadi apapun yang dihasilkan juga tidak halal untuk tubuh dan amal kita.
Padahal hidup ini perlu kejujuran agar tidak terjadi ketimpangan.  Agar terjadi keselarasan dan keseimbangan.  Sehingga tercipta sebuah harmoni kehidupan yang Indah. Tidak ada rekayasa dan upaya penghancuran dari siapa kepada siapa. Yang ada adalah keserasian dan keharmonisan dalam kehidupan.
Kebohongan dan kejujuran ibarat dua mata pisau yang sama tajamnya. Ditangan seorang wanita bernama ibu kedua mata pisau itu akan terlihat mana yang paling tajam.  Bagian mana yang selalu diasah dan dipoles akan semakin tajam jika digunakan. Sedangkan yang tidak diasah dan dipoles akan tumpul dan berkarat.
Ajarkan kebaikan dengan landasan agama yang kuat.  Inshaa Allah anak kita akan menjadi pisau yang tajam dan siap digunakan kapanpun dan dimanapun.




Selasa, 14 Februari 2017

Takdir Itu Indah


      

      Sore itu, seorang teman bertandang ke rumah. Air mata berurai di wajahnya. Bayi dalam gendongannya menangis. Sebuah ikatan hati yang kuat antara ibu dan anak. Setelah duduk dan tangisannya sedikit reda, dia mulai menceritakan tentang permasalahan yang dihadapinya. Sambil sesekali menyeka air mata yang masih menetes di pipinya.
       
     Sudah satu bulan ini suami tercintanya tidak bekerja. Dapurnya sudah hampir dua minggu tidak mengepul. Keputus asa-anlah yang membuatnya melangkahkan kaki kerumah saya. “Kenapa Allah memberikan cobaan yang begitu berat kepadaku mbak?”, sebuah pertanyaan terlontar disela isak tangisnya. Sebuah pertanyaan yang seharusnya dikembalikan kepada Allah, bukan kepada manusia lemah seperti saya.

            Sambil menghela nafas, saya mencoba menenangkan si teman agar tidak terlalu “lebay” dalam menyampaikan keluh kesahnya. Sebuah pertanyaan yang sampai saat ini saya dan mungkin semua manusia di dunia ini tidak akan bisa menjawabnya. “Mengapa Allah memberikan ini kepada saya? Padahal ini sangat berat untuk saya jalani”. 
         
  
Dari penggalan cerita diawal tulisan, saya menyarankan untuk memperbanyak istighfar dan lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Jangan curhat kepada saya, curhat kepada Allah agar Dia bisa memberikan jalan keluar yang terbaik untuk kita. Ikhlas, sabar dan tawakkal adalah kunci dalam menjalani hidup ini. Sang tamu hanya tersenyum terpaksa. Setiap manusia pasti akan mengalami sebuah perjalanan dan perjuangan hidup. Itulah nikmatnya kehidupan, yaitu ketika kita bisa mengahadapi semua ujian yang diberikan oleh Allah, baik berupa kenikmatan ataupun kesempitan.
        
    Marilah kita bercermin kepada diri sendiri. Pernahkah ketika Allah memberikan ujian berupa kenikmatan dunia kita bertanya kepada-Nya, “Ya Allah, mengapa Engkau berikan nikmat ini kepadaku?”. Hampir bisa dipastikan 99,99% manusia tidak akan pernah bertanya seperti itu ketika ujian kenikmatan diberikan kepadanya. Yang selalu dipertanyakan adalah ketika ujian itu berupa ketidak nikmatan dan ketidak nyamanan. Benarkah demikian?
            Sebagai seorang hamba, dalam kondisi apapun seharusnya kita tidak boleh bersikap “mau enaknya sendiri”, artinya kita mencoba “mengelola” Allah supaya memberikan semua yang kita inginkan. Padahal kita tidak tahu apakah semua yang kita inginkan tersebut baik untuk kita atau tidak.
    
       
Allah sudah tahu apa yang “pas” untuk kita. Dia tidak akan pernah memberikan sesuatu yang tidak baik untuk kita. Karena itu berprasangka baik kepada-Nya adalah solusi terbaik yang bisa kita lakukan. Dengan demikian hidup kita akan selalu indah dan berwarna. Tidak suram dan penuh dengan masalah. Kepasrahan yang kita laku            kan akan membawa energi positif yang dapat memotivasi diri kita dalam menghadapi hidup ini.  Energi positif itulah yang kita butuhkan untuk bisa tetap bertahan dalam menghadapi pernak-pernik kehidupan.
           
Beberapa bulan kemudian, ketika ada sebuah acara silaturrahim, si tamu datang dengan anak-anaknya. Wajahnya sudah berbeda dari dahulu ketika ketemu saya. Binar keceriaan dan kebahagiaan terpancar dari wajahnya. Subhanallah, ternyata saran yang saya berikan beberapa waktu yang lalu telah mampu menjadikannya kuat dalam menghadapi hidup ini. Dan dengan kekuatan yang dimilikinya, Alhamdulillah Allah memberikan jalan keluar terbaik atas masalah yang dihadapinya. Satu persatu masalah terselesaikan dan kesempitan yang menghimpitpun sudah terlonggarkan.


           
Takdir Allah adalah sesuatu yang pasti dan tidak dapat kita hindari. Akan tetapi, kita sebagai manusia masih bisa mencoba untuk merubah takdir tersebut menjadi sesuatu yang indah sebagaimana yang kita harapkan atau kita inginkan. Kalau kita sudah berusaha untuk merubahnya dan tetap tidak sesuai dengan yang kita harapkan, artinya bahwa itulah yang menurut Allah terbaik untuk kita. Syukuri, sabar dan ikhlas untuk bisa menerimanya.






           
Sepenggal kisah berikut semoga bisa menjadi inspirasi bagi kita semua agar tetap optimis dalam hidup tanpa meninggalkan Dia sebagai penentu. Karena memang hanya Dialah yang punya hak paten untuk menentukan apa dan bagaimana hidup dan kehidupan kita.       Ada seorang gadis yang selalu konsisten di jalan dakwah. Ketika ada seorang ikhwan yang mengkhitbahnya, dia hanya berserah diri kepada Allah melalui shalat istikharahnya. Hasilnyapun didapat, dia harus menerima laki-laki yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Bahkan secara fisik dia belum tahu karena memang dia tidak ingin tahu siapa calon suaminya. Dia hanya berprasangka baik kepada Allah bahwa siapapun dia, Insya Allah adalah yang terbaik menurut Allah untuk dirinya. Dan sungguh diluar dugaan, ternyata calon suaminya itu adalah seseorang yang Insya Allah Shalih dan berilmu.
      
     
Sikap pasrah dan ikhlas gadis tersebut telah dibalas Allah dengan sebuah nikmat yang tak ternilai dengan apapun. Bahkan membuat teman-temannya ingin mendapatkan nikmat yang sudah didapatnya. Karena itu, jika kita selalu menganggap takdirNya itu indah, Insya Allah kita tidak akan pernah merasa berputus asa dengan apa yang sudah ditetapkan oleh Allah kepada kita, meskipun menurut orang lain itu sangat tidak menyenangkan. Sesungguhnya balasan Allah kepada orang-orang yang sabar dan ikhlas akan takdirNya sungguh luar biasa dan tidak dapat dilogikakan dengan matematikanya manusia. Takdir itu indah, seindah Yang “Mengformatnya”.
        
   
Format Allah adalah format terbaik yang tidak akan bisa dicarikan tandingannya. Setiap bagian dari Format-Nya akan sangat bermakna dan mempunyai arti yang sangat mendalam bagi kehidupan setiap hamba-Nya. Kita harus pandai-pandai dalam mensikapi setiap bagian dari format kehidupan kita, sehingga kita akan bisa menjadi manusia-manusia pilihan yang bisa bertahan dalam hidup dan kehidupan ini.

    
     
   Hidup ini indah dan penuh dengan “kejutan-kejutan”. Terkadang kita tidak tahu mengapa Dia membuat skenario kehidupan kita berbeda dengan saudara kita, dengan teman kita, dengan orang-orang yang ada disekitar kita. Semua sudah ada kepastiannya, tidak ada sedikitpun “setting-an” kehidupan-Nya yang tidak “pas” untuk kita. Karena Dia Maha Tahu akan kemampuan kita sebagai hamba-Nya.
            Keindahan Takdir-Nya akan membawa kesan yang mendalam dalam kehidupan kita. Sehingga kita akan dengan bangga menggulirkan cerita tentang keindahan pernak-pernik kehidupan yang kita alami kepada generasi penerus kita untuk bisa menjadi ibroh bagi mereka dalam mengarungi lautan kehidupan.

Ketika kita pandai bersyukur atas apa yang diberikan-Nya, sabar dan ikhlas menerima semuanya, Insya Allah kita akan menjadi seorang “khalifah fil ard” yang “hebat”, yang tidak hanya baik dari segi hablumminannass akan tetapi juga hablumminallah. Tidak hanya baik dalam berhubungan dengan manusia lain, akan tetapi juga baik dalam berhubungan dengan Allah. Syukur, ikhlas dan sabar atas semua ketentuan-Nya Insya Allah akan dibalas dengan sebuah "kejutan" yang tak terduga dari-Nya. Kita hanya sekedar menjalani hidup ini dengan penuh tawakal tanpa harus  berambisi atas keinginan yang ada dalam diri kita. Allah tahu apa yang terbaik untuk kita dan tidak akan memberikan sesuatu yang tidak baik untuk kita. Semua sudah diatur sesuai dengan kapasitas kita masing-masing.
Sebagai penutup ada sebuah kisah tentang dua orang sahabat yang sedang memperebutkan “cinta” seorang laki-laki. Ternyata takdirnya Allah berkata lain. Si fulana A yang sangat mengagumi si laki-laki, pada kenyataannya bertepuk sebelah tangan. Si laki-laki lebih memilih si fulana B yang dianggapnya “pas” untuk dirinya. Si fulana A sempat tercabik-cabik hatinya. Dia tidak bisa menerima “takdir Allah” menurut kemampuan akalnya. Dia merasa kalau kenyataan itu tidak adil baginya. Dirinya mulai mengurangi aktifitas dakwahnya karena tidak ingin bertemu dengan si fulana B, sahabatnya.

Alhamdulillah setelah melalui perjuangan yang panjang akhirnya si fulana A bisa menerima kenyataan yang ada dihadapannya. Bahwa seseorang yang menurutnya terbaik untuk dirinya belum tentu itu adalah yang terbaik menurut Allah untuk dirinya. Dan Alhamdulillah beberapa waktu kemudian si fulana A mendapatkan seorang suami yang sangat sayang kepadanya dan memiliki kelebihan-kelebihan yang lebih banyak dari laki-laki yang dulu diinginkannya untuk menjadi suaminya.



Takdir-Nya itu sangat...sangat...sangat indah. Ketika kita bisa menikmati dan menyelaminya untuk mengambil ibroh darinya, Insya Allah kita akan menjadi orang yang bijak dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini. Orang-orang yang hebat kalau kita telusuri sejarah kehidupannya adalah orang-orang yang bisa menyelami dan memaknai hidup dan kehidupannya. Tidak ada keluh kesah. Yang ada adalah berpikir positif atas apa yang terjadi pada dirinya sebagai motivasi dalam memperbaiki hidup dan kehidupannya untuk mencapai kesusksesan dunia dan akhirat.