Penjelasan yang diberikan oleh pemateri tentang
disleksia begitu menghunjam dalam hatiku.
Rabbi, selama ini aku telah
berdosa kepada anakku. Aku begitu
memaksakan sesuatu yang seharusnya tidak boleh aku lakukan.
Terbayang wajah polosnya saat bertanya
kepadaku tentang huruf-huruf yang aku sebutkan.
Wajahnya berubah kebingungan, saat akan menuliskan huruf-huruf yang
hampir sama penulisannya.
“Ummi,
huruf m itu yang bagaimanakah? “, tanyanya polos saat aku mengajarinya
menulis dengan metode dikte. Itu
baru huruf M, belum hururf-huruf yang lain.
Aku berusaha menahan diri agar tidak sampai
terbawa emosi. Aku hela nafas perlahan. Mashaa Allah,
selalu ini yang terjadi.
“Yang kakinya tiga nduk, “ jawabku setengah menahan
rasa kesalku.
Ya Allah...
Sabarkan hatiku. Mengapa si
bungsu ini begitu susah menghafalkan huruf-huruf abjad. Padahal ketiga kakaknya, tidak mengalami
kesulitan yang berarti, ketika harus menghafalkan dua puluh enam abjad ini.
Aku sudah mencoba berbagai metode untuk
mengajarinya. Mulai dari alat peraga
kartu huruf, balok huruf, sampai media digital. Semua berhenti pada
satu titik kulminasi. Selalu lupa bila
bertemu dengan huruf yang hampir sama.
Padahal jumlah huruf yang hampir sama jumlahnya juga lumayan banyak.
Mungkin ini adalah kesalahan yang harus aku
tanggung resikonya. Anakku yang bungsu ini masuk kelas satu saat usianya lima
koma delapan tahun. Usia yang terlalu
Dini. Apalagi dia tidak pernah masuk ke
jenjang sekolah untuk PAUD. Langsung
tancap gas ke kelas satu sekolah dasar.
Jadi waktu dia kelas satu, dia hanya bisa menulis lingkaran untuk semua huruf.
Lingkaran dengan model yang berbeda.
Wow, kalau dipikir-pikir anakku
ini adalah jenius. Bayangkan, dia bisa membuat dua puluh enam lingkaran
yang berbeda untuk setiap abjad yang ada.
Setahun sudah terlewati. Si bungsu masih seperti dulu. Belum bisa membaca. Bisa kalau diajari satu persatu. Dengan mengeja persuku. Alhamdulillah, dia mendapat ustadzah yang bisa memahami kekurangan
dan kelebihannya.
Memang untuk membaca dia masih kurang
mampu. Tapi jangan salah. Nilai matematikanya selalu diatas
sembilan. Dia jago banget untuk berhitungnya.
Aku jadi bingung juga melihat kondisi seperti ini. Kenapa matematika, yang
notabene pelajaran yang dianggap sulit malah bisa dikerjakannya dengan baik.
Hafalan surat pendeknya spektakuler. Bahkan dia mampu menghafalkan puisi yang
dibacakan gurunya dalam beberapa waktu saja.
Tidak perlu hitungan jam. Itu
semua aku ketahui, karena ustadzahnya yang bercerita kepadaku.
Rabbi,
ada apa sebenarnya? Mengapa
dengan anakku yang bungsu ini? Pertanyaan
yang sampai anakku kelas empat baru terjawab.
Yah,
saat aku mengikuti pelatihan tentang disleksia. Ketidak mampuan seseorang dalam mengenal
huruf. Apalagi huruf yang punya kemiripan.
Si bungsu masih berada dalam zona aman sampai
kelas tiga sekolah dasar. Jadi dia sekolah tanpa beban, karena aku sudah membuat kesepakatan dengan
ustadzahnya tentang dia. Aku tidak
menuntut apapun, yang terpenting anakku nyaman di sekolah. Jadi tidak ada
pemaksaan kepadanya. Ketika ulangan pun, ada dispensasi khusus kepadanya. Jadi kalau
hasil ulangan tulisnya kurang memuaskan, dikarenakan tidak selesai mengerjakan, meskipun dia sudah diberi soal berbintang.
Anak-anakku sekolah di sekolah kreatif, jadi untuk masalah akademik bukanlah hal yang
sangat utama. Meskipun tetap harus diutamakan.
Makanya, si bungsu tidak merasa
terbebani ketika dia masih belum bisa membaca dengan lancar. Dia senang ketika akan berangkat ke
sekolah.
Dibandingkan
dengan kakak-kakaknya, dia paling
rajin ketika akan berangkat ke sekolah.
Pagi sudah bangun dan mandi.
Ketika semua persiapan untuk ke sekolah sudah beres, dia akan segera minta berangkat sekolah. Meskipun
masih terlalu pagi. Itu karena dia merasa nyaman di sekolah.
Menginjak kelas empat, guru kelas berganti. Kebetulan aku bisa request ke
ustadzahnya. Aku ingin agar wali kelas anakku
si ustadzah Sovi. Guru cantik tapi
terkenal killer. Entah kenapa, tapi feeling
ku mengatakan bahwa dia adalah yang terbaik untuk anakku. Aku berharap dengan ustadzah Sovi menjadi
wali kelas anakku, anakku akan bisa
membaca dengan lancar. Aku tahu bahwa
itu adalah sebuah impian yang pasti akan terjadi. Tidak mungkin anakku tidak
bisa membaca. Inshaa Allah dia pasti bisa.
Awal masuk sekolah, anakku sering protes. Katanya sekolah tidak enak. Susah dan tidak menyenangkan lagi baginya. Benarkah? Ternyata,
dia memang ditarget oleh ustadzah Sovi untuk bisa membaca. Bravo.
Semoga ini menjadi awal yang baik buat dia. Really.
Alhamdulillah, berkat kerjasama
kami berdua ditambah dia les malam hari,
akhirnya membuahkan hasil. Anakku
sekarang sudah bisa membaca, meskipun masih perlu dilancarkan terus.
Kadang aku merasa berdosa telah berkolaborasi
dengan ustadzah Sovi. Berkolaborasi ngerjain anakku sendiri. Bagaimana tidak? Kami sepakat bahwa untuk setiap ulangan, baik harian,
tengah semester maupun akhir semester, kami sepakat bahwa anakku harus mengerjakan
sendiri tanpa dibantu oleh ustadzah.
Berapapun soal yang dijawab tidak menjadi masalah. Ya,
karena jika nilai ulangan tulis belum memenuhi, maka akan dilakukan ulangan lisan. Khusus unyuk anakku, jadi hasilnya memang riil. Meskipun itu sebenarnya tidak diperbolehkan. Benar-benar
ekstra.
Yabg terjadi sekarang malah sebaliknya. Anakku
yabg diawal sangat takut dengan ustadzah Sovi,
sekarang bahkan ustadzah Sovi menjadi ustadzah kesayangannya. Ketakutannya berubah menjadi Cinta yang
berdasar. Adanya ikatan antara mereka
saat kelas empat. Bagaimana mereka
berdua harus berjuang mencapai satu tujuan.
Anakku bisa membaca lancar.
Alhamdulillah setelah aku mengetahui bahwa
anakku disleksia, aku bisa mendapatkan
sebuah solusi untuknya. Dan good job. Alhamdulillah karena- Mu Ya Allah semua bisa tercapai
sesuai dengan yang aku harapkan.
Dialeksia bukanlah sebuah aib bagi orang
tua. Anak disleksia bukanlah anak yang
bodoh. Mereka adalah anak-anak hebat yang diberikan Allah kepada kita. Terimalah dengan tangan terbuka. Beri dukungan dan motivasi agar dia bisa
meraih mimpinya. Bisa membaca seperti teman-temannya. Bismillah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar