Kamis, 16 Februari 2017

ALPHABET

Penjelasan yang diberikan oleh pemateri tentang disleksia begitu menghunjam dalam hatiku.  Rabbi,  selama ini aku telah berdosa kepada anakku.  Aku begitu memaksakan sesuatu yang seharusnya tidak boleh aku lakukan. 
Terbayang wajah polosnya saat bertanya kepadaku tentang huruf-huruf yang aku sebutkan.  Wajahnya berubah kebingungan, saat akan menuliskan huruf-huruf yang hampir sama penulisannya.
“Ummi,  huruf m itu yang bagaimanakah? “, tanyanya polos saat aku mengajarinya menulis dengan metode dikte. Itu baru huruf M, belum hururf-huruf yang lain.
Aku berusaha menahan diri agar tidak sampai terbawa emosi.  Aku hela nafas perlahan.  Mashaa Allah,  selalu ini yang terjadi.
“Yang kakinya tiga nduk, “ jawabku setengah menahan rasa kesalku.
Ya Allah...  Sabarkan hatiku.  Mengapa si bungsu ini begitu susah menghafalkan huruf-huruf abjad.  Padahal ketiga kakaknya, tidak mengalami kesulitan yang berarti, ketika harus menghafalkan dua puluh enam abjad ini.
Aku sudah mencoba berbagai metode untuk mengajarinya.  Mulai dari alat peraga kartu huruf,  balok huruf,  sampai media digital. Semua berhenti pada satu titik kulminasi.  Selalu lupa bila bertemu dengan huruf yang hampir sama.  Padahal jumlah huruf yang hampir sama jumlahnya juga lumayan banyak.
Mungkin ini adalah kesalahan yang harus aku tanggung resikonya. Anakku yang bungsu ini masuk kelas satu saat usianya lima koma delapan tahun.  Usia yang terlalu Dini.  Apalagi dia tidak pernah masuk ke jenjang sekolah untuk PAUD.  Langsung tancap gas ke kelas satu sekolah dasar.
Jadi waktu dia kelas satu,  dia hanya bisa menulis lingkaran untuk semua huruf. Lingkaran dengan model yang berbeda.  Wow,  kalau dipikir-pikir anakku ini adalah jenius.  Bayangkan,  dia bisa membuat dua puluh enam lingkaran yang berbeda untuk setiap abjad yang ada.
Setahun sudah terlewati.  Si bungsu masih seperti dulu.  Belum bisa membaca.  Bisa kalau diajari satu persatu.  Dengan mengeja persuku. Alhamdulillah,  dia mendapat ustadzah yang bisa memahami kekurangan dan kelebihannya. 
Memang untuk membaca dia masih kurang mampu.  Tapi jangan salah.  Nilai matematikanya selalu diatas sembilan.  Dia jago banget untuk berhitungnya. Aku jadi bingung juga melihat kondisi seperti ini. Kenapa matematika, yang notabene pelajaran yang dianggap sulit malah bisa dikerjakannya dengan baik.
Hafalan surat pendeknya spektakuler.  Bahkan dia mampu menghafalkan puisi yang dibacakan gurunya dalam beberapa waktu saja.  Tidak perlu hitungan jam.  Itu semua aku ketahui, karena ustadzahnya yang bercerita kepadaku.
Rabbi,  ada apa sebenarnya?  Mengapa dengan anakku yang bungsu ini?  Pertanyaan yang sampai anakku kelas empat baru terjawab.
Yah,  saat aku mengikuti pelatihan tentang disleksia.  Ketidak mampuan seseorang dalam mengenal huruf. Apalagi huruf yang punya kemiripan.
Si bungsu masih berada dalam zona aman sampai kelas tiga sekolah dasar. Jadi dia sekolah tanpa beban,  karena aku sudah membuat kesepakatan dengan ustadzahnya tentang dia.  Aku tidak menuntut apapun, yang terpenting anakku nyaman di sekolah. Jadi tidak ada pemaksaan kepadanya.  Ketika ulangan pun,  ada dispensasi khusus kepadanya. Jadi kalau hasil ulangan tulisnya kurang memuaskan, dikarenakan tidak selesai mengerjakan,  meskipun dia sudah diberi soal berbintang.
Anak-anakku sekolah di sekolah kreatif,  jadi untuk masalah akademik bukanlah hal yang sangat utama.  Meskipun tetap harus diutamakan. Makanya,  si bungsu tidak merasa terbebani ketika dia masih belum bisa membaca dengan lancar.  Dia senang ketika akan berangkat ke sekolah. 
Dibandingkan  dengan kakak-kakaknya,  dia paling rajin ketika akan berangkat ke sekolah.  Pagi sudah bangun dan mandi.  Ketika semua persiapan untuk ke sekolah sudah beres,  dia akan segera minta berangkat sekolah. Meskipun masih terlalu pagi. Itu karena dia merasa nyaman di sekolah.
Menginjak kelas empat,  guru kelas berganti.  Kebetulan aku bisa request ke ustadzahnya.  Aku ingin agar wali kelas anakku si ustadzah Sovi.  Guru cantik tapi terkenal killer. Entah kenapa,  tapi feeling ku mengatakan bahwa dia adalah yang terbaik untuk anakku.  Aku berharap dengan ustadzah Sovi menjadi wali kelas anakku,  anakku akan bisa membaca dengan lancar.  Aku tahu bahwa itu adalah sebuah impian yang pasti akan terjadi. Tidak mungkin anakku tidak bisa membaca. Inshaa Allah dia pasti bisa.
Awal masuk sekolah,  anakku sering protes.  Katanya sekolah tidak enak.  Susah dan tidak menyenangkan lagi baginya. Benarkah?  Ternyata,  dia memang ditarget oleh ustadzah Sovi untuk bisa membaca.  Bravo.  Semoga ini menjadi awal yang baik buat dia.  Really.  Alhamdulillah,  berkat kerjasama kami berdua ditambah dia les malam hari,  akhirnya membuahkan hasil.  Anakku sekarang sudah bisa membaca, meskipun masih perlu dilancarkan terus.
Kadang aku merasa berdosa telah berkolaborasi dengan ustadzah Sovi. Berkolaborasi ngerjain anakku sendiri.  Bagaimana tidak?  Kami sepakat bahwa untuk setiap ulangan,  baik harian,  tengah semester maupun akhir semester,  kami sepakat bahwa anakku harus mengerjakan sendiri tanpa dibantu oleh ustadzah.  Berapapun soal yang dijawab tidak menjadi masalah.  Ya,  karena jika nilai ulangan tulis belum memenuhi,  maka akan dilakukan ulangan lisan.  Khusus unyuk anakku,  jadi hasilnya memang riil.  Meskipun itu sebenarnya tidak diperbolehkan. Benar-benar ekstra. 
Yabg terjadi sekarang malah sebaliknya. Anakku yabg diawal sangat takut dengan ustadzah Sovi,  sekarang bahkan ustadzah Sovi menjadi ustadzah kesayangannya.  Ketakutannya berubah menjadi Cinta yang berdasar.  Adanya ikatan antara mereka saat kelas empat.  Bagaimana mereka berdua harus berjuang mencapai satu tujuan.  Anakku bisa membaca lancar.
Alhamdulillah setelah aku mengetahui bahwa anakku disleksia,  aku bisa mendapatkan sebuah solusi untuknya.  Dan good job.  Alhamdulillah karena- Mu Ya Allah semua bisa tercapai sesuai dengan yang aku harapkan.
Dialeksia bukanlah sebuah aib bagi orang tua.  Anak disleksia bukanlah anak yang bodoh. Mereka adalah anak-anak hebat yang diberikan Allah kepada kita.  Terimalah dengan tangan terbuka.  Beri dukungan dan motivasi agar dia bisa meraih mimpinya. Bisa membaca seperti teman-temannya. Bismillah...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar