Siang itu,
aku khusus meluangkan waktu untuk berjalan-jalan dengan anak-anak.
Beberapa tempat aku tawarkan. Pilihan
jatuh pada Delta Plaza Surabaya. Selain lokasi yang tidak terlalu luas, kami
juga tidak harus bingung untuk menunggu.
Ada panggung kecil berbentuk lingkaran yang disiapkan persis disebelah
Utara information desk.
Kalau sedang tidak ada acara apapun, panggung itu kosong, sehingga bisa dimanfaatkan sebagai tempat
duduk. Pengunjung yang kelelahan setelah
berbelanja bisa duduk disitu. Atau yang sedang menunggu teman atau saudara yang
sedang berbelanja.
Sekilas aku layangkan pandanganku ke
sekitar. Ada beberapa abg dan juga
ibu-ibu yang duduk di panggung tersebut. Semua terlihat kelelahan . Wajah sayu
tanpa senyum dan sedikit guratan ketidak sabaran jelas tergambar di wajah mereka.
Selain iti, ada juga yang terlihat tidak
sabar karena harus menunggu teman atau saudaranya dalam waktu yang mungkin agak
lama.
Wajah manusia yang duduk diatas panggung itu penuh
ketidak ramahan. Kalaupun tersenyum, itu
karena terpaksa sebab disapa oleh orang yang akan duduk disebelahnya. Rabbi,
jangan sampai kondisi kota Jakarta akan dibawa ke sini, di Surabaya. Aku tidak bisa membayangkan jika
Surabaya menjadi seperti Jakarta. Manusia yang satu dengan yang lain tidak
saling sapa, apalagi membantu orang
yang kesulitan. Hidup seperti apakah itu?
Sambil menunggu, aku buka telepon genggamku. Ah,
tiba-tiba muncul ide untuk menulis.
Mumpung suasana lagi pas... Full musik dan orang lalu lalang. Seperti laptop yang full batteray, akupun mulai menulis di aplikasi word yang ada di
telepon genggamku. Menulis tentang impian kecilku.
Khusyuk sekali aku menulis. Semua mengalir dengan sendirinya. Tanpa beban
dan rasa terbebani. Sudah lama aku tidak
melakukan aktivitas seperti ini.
Terakhir waktu aku kuliah. Sembilan belas tahun yang lalu. Kebiasaan
makan di plaza sambil mencari inspirasi untuk bahan tulisan buletinku atau sekedar
refresh sebelum ujian kuliah.
Sekilas perhatianku beralih ke anak kecil di sebelahku
yang sedang merajuk pada mamanya.
Sepertinya serius sekali. Mamanya
bahkan harus menaikkan sedikit volume suaranya untuk membujuk gadis kecilnya.
Tidak berhasil. Si gadis kecil masih merajuk bahkan sekarang
dengan sedikit bertingkah.
“Sayang,
anak kecil gak boleh beli itu.
Hanya orang dewasa yang boleh,” bujuk si ibu.
“Gak mau.. Gak mau... Mama bohong.
Tadi juga ada anak kecil yang makan disitu, “ sangah sang gadis kecil.
Mataku yang semula memandang si gadis kecil
itu, seketika beralih ke mamanya. Merasa ada yang memandang dengan penuh
makna, seketika sang mama tersenyum kepadaku.
Tatapan matanya penuh makna. Entah malu karena ketahuan berbohong, atau
minta dukungan atas kebohongannya. Aku tidak begitu memperdulikannya. Karena
fokus ke tulisanku.
Entah karena malu padaku atau apakah, sang mama akhirnya mengaku kalah dan
mengiyakan keinginan gadis kecilnya. Mereka berjalan beriringan meninggalkan
aku yang masih berkutat dengan tulisanku.
Dari penggalan kisah singkat diatas, ada sebuah pelajaran besar yang bisa kita
ambil hikmahnya. Pertama, tentang ibu
sebagai sekolah pertama bagi anaknya dan yang kedua adalah tentang pentingnya
sebuah kejujuran dalam hidup.
Ibu,
sosok yang satu ini sangat mulia. Bahkan Rasulullah pun begitu
menghormati dan menghargai seorang ibu.
Dalam sebuah hadits, beliau mengatakan
bahwa yang harus dimuliakan yang pertama adalah ibumu, yang kedua adalah ibumu dan yang ketiga adalah
ibumu baru kemudian bapakmu. Artinya adalah bahwa ibu begitu memiliki kedudukan
yang sangat mulia.
Sebagai seorang ibu, ada sebuah tugas mulia yang dibebankan diatas
pundaknya, yaitu mendidik dan
membesarkan anak-anaknya. Karena memang
seorang ibu adalah segalanya bagi anaknya. Contoh nyata bagi anak-anaknya.
Sekolah yang paling handal dalam membentuk
karakter dan kepribadian anak-anaknya. Apapun
yang dilakukannya pasti akan dilakukan oleh anaknya. Mudahnya, anak adalah foto copi dari ibunya. Perilaku anak
akan sama dengan perilaku ibunya.
Wanita tersebut diatas, mungkin tidak menyadari,
bahwa apa yang dilakukannya, pada suatu saat nanti akan ditiru oleh anaknya.
Contoh nyata perilaku berbohongnya, pasti akan ditiru oleh gadis kecilnya suatu
saat nanti. Sepertinya tidak mungkin akan terjadi. Alasannya adalah si gadis tadi masih kecil
dan belum tahu apa-apa. Benarkah?
Realitanya tidaklah seperti itu. Justru karena
dia masih kecil, maka daya rekamnya akan semua kejadian yang ada disekitarnya
akan sangat kuat. Yah, masa golden age, dimana semua informasi dan
pengalaman hidup yang dilihat dan dialaminya,
akan menancap dalam hati dan otaknya.
Menancap kuat dan akan teringat seumur hidupnya.
Buktinya...
Pernah ada seorang wanita usia sekitar lima puluhan. Pada suatu
hari, dia koma. Tidak sadarkan diri. Dan ketika dia sadar, yang diingatnya adalah pengalamannya ketika
kecil. Menyanyikan lagu anak-anak semasa dia kecil. Hal-hal yang berhubungan
dengan masa kecilnya tidak hilang dari ingatannya.
Masa golden
age adalah sebuah momentum yang sangat mendasar bagi seorang anak. Juga masa yang paling peka dan menentukan
apakah seorang ibu akan berperan besar dalam kehidupan anak selanjutnya ataukah
tidak.
Itulah sebabnya mengapa seorang ibu haruslah
pandai. Khususnya dalam mengelola
anak-anaknya. Ditangan seorang ibu
hebat, akan lahir anak yang super hebat.
Rasulullah menjadi hebat salah satunya adalah karena peranan wanita-wanita
hebat disekitarnya.
Selanjutnya adalah yang kedua, yaitu tentang kejujuran. Kejujuran adalah kunci kesuksesan hidup, baik dunia maupun akhirat. Yang akan menentukan apakah seseorang itu
mulia dihadapan Allah atau tidak.
Penggalan kisah diatas, secara tidak langsung, merupakan salah satu
penghancuran karakter positif anak.
Menghancurkan fitrah anak tanpa disadari oleh para orang tua. Apalagi jika orang tuanya tidak bisa memilah
antara yang halal dan tidak. Maka akan
lahirlah generasi pembohong, yang akan
menghancurkan bangsa ini secara perlahan.
Pernahkah terpikir dalam hati dan benak
kita, bahwa apapun yang dihasilkan
dengan cara tidak halal, akan berbuah
ketidak halalan juga. Jadi apapun yang
dihasilkan juga tidak halal untuk tubuh dan amal kita.
Padahal hidup ini perlu kejujuran agar tidak
terjadi ketimpangan. Agar terjadi
keselarasan dan keseimbangan. Sehingga tercipta
sebuah harmoni kehidupan yang Indah. Tidak ada rekayasa dan upaya penghancuran
dari siapa kepada siapa. Yang ada adalah keserasian dan keharmonisan dalam
kehidupan.
Kebohongan dan kejujuran ibarat dua mata pisau
yang sama tajamnya. Ditangan seorang wanita bernama ibu kedua mata pisau itu
akan terlihat mana yang paling tajam. Bagian
mana yang selalu diasah dan dipoles akan semakin tajam jika digunakan.
Sedangkan yang tidak diasah dan dipoles akan tumpul dan berkarat.
Ajarkan kebaikan dengan landasan agama yang
kuat. Inshaa Allah anak kita akan
menjadi pisau yang tajam dan siap digunakan kapanpun dan dimanapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar