Impian. Begitu
indah dan membuai, siapa saja yang memilikinya. Diri akan terbuai dan terbang
melayang untuk meraihnya. Dengan usaha dan do’a. tak akan ada yang bisa
menghalanginya. Itulah yang biasa aku lakukan dengan murid-muridku. Menancapkan
impian dalam angan, berharap Allah akan mengabulkannya.
Murid-murid
special dari Allah. Memang sekolahku tidak pernah banyak muridnya. Siapapun
yang menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah yang aku kelola, adalah orang yang
paham tentang pendidikan anak usia dini. Selain itu, mereka juga tidak
menginginkan kalau anak-anak mereka bersekolah dengan jumlah murid yang banyak.
Tahun ajaran
ini, aku menjadi wali kelas untuk Kelompok Bermain dan Kelompok B. Hanya
delapan orang. Tapi penanganannya melebihi dua puluh anak. Mereka “anak-anak
hebat” (bukan ABK) yang perlu penangan berbeda. Artinya, mereka pandai dan save
dalam menyelesaikan permasalahan mereka. Itu adalah goal sekolah yang aku
kelola.
Awal, mereka
agak takut kepadaku. Maklum, selama ini, aku hanya sebagai pengawas bagi guru
mereka. Tapi, tahun ini aku harus mendidik dan mengajari mereka sendiri. itu
karena takdir yang mengharuskannya. Bismillah, aku jalani semua dengan ikhlas
dan sabar serta senang hati.
Aku mencoba
memetakan mereka berdasarkan kemampuan akademiknya. Agar memudahkan aku dalam
memberikan materi ke mereka. Alhamdulillah akhirnya semua berjalan sebagaimana
yang aku harapkan.
Aku mengajak
mereka bermain dan bersenang-senang. Itu yang setiap hari aku lakukan, sehingga
mereka merasa betah di sekolah. Bahkan mereka selalu minta dijemput terlambat
setiap hari. Hanya untuk memuaskan diri di sekolah. Ada satu ganjalan, yang
selalu menggangguku. Mereka sangat penakut ketika aku minta untuk maju
bercerita atau yang lainnya. Ada apakah dengan mereka?
Aku mulai
berpikir, apa yang harus aku lakukan, agar mereka menjadi seorang anak yang
pemberani? Perlahan aku mencoba mencari-cari, apa yang bisa memancing
keberanian mereka selain latihan maju bercerita setiap hari?
Lama aku
mencari sebuah metode yang pas untuk mereka. Sebuah metode yang menyenangkan
untuk mereka, tapi menjadikan mereka berani maju untuk bercerita. Aku sangat
menjadikan hal tersebut sebagai sesuatu yang sangat penting bagi mereka, yaitu
bagaimana mereka bisa bercerita dengan berani di hadapan teman-temannya.
Padahal, kami
selalu have a nice dream in the future. Kami selalu bermimpi bersama-sama.
Tentunya dengan impian yang berbeda-beda. Aku mencoba membangun pikiran positif
mereka akan masa depannya. Mempunyai impian indah yang harus diwujudkan suatu
saat nanti. Ketika Allah mentakdirkan impian mereka menjadi sebuah kenyataan,
bukan hanya sekadar angan-angan belaka.
Ide itu muncul
ketika aku menemukan sebuah bola basket milik anak laki-lakiku. Perlahan aku
berdiri dan berjalan mengambil bola basket tersebut. Dengan tenang aku mulai
memainkan bola basket tersebut. Semua anak didikku melihatnya dengan pandangan
yang berbinar-binar. Bahkan, Muel mulai mendekatiku mencoba merebut bola basket
dari tanganku. Serentak, semua berebut untuk mendapatkannya.
“Sebentar, bu
Hepy akan memberi contoh dulu bagaimana cara memainkannya,” ucapku mencoba
menenangkan mereka.
“Aku bu, aku
bu…,” suara mereka bersahut-sahutan.
“Iya, iya,
sebentar ya… perhatikan dulu,” jawabku mencoba membuat mereka cooling down.
“Anak-anak, bu
Hepy akan mengajarkan cara mendrible bola basket dan melemparkannya. Tolong
perhatikan ya,” ucapku memulai pemberian materi tentang kebasketan.
Sudah dua puluh
enam tahun aku tidak menyentuh bola ini. Aku dulu adalah seorang atlit basket di
sekolah. Semua teman laki-lakiku tidak ada yang bisa mengalahkan kemampuanku
memasukkan bola ke ring basket. Aku adalah pemain basket handal di sekolah,
meskipun jika berhadapan dengan bola volley selalu berlari ketakutan.
Satu-persatu
mereka belajar mendrible dan melempar bola. Mereka sangat antusias sekali. tak
mau berhenti, padahal sudah satu jam bermain basket.
“Bu, aku hebat
ya. Padahal aku kalau di rumah takut main bola basket, sakit kalau terkena
bolanya,” celetuk Muel.
“Aku juga bu,
ternyata mudah ya bermain basket itu,” Seva menimpali kata-kata Muel.
Azzam juga
menyela, “Aku juga bisa bu… pintar ya”.
Subhanallah,
mereka senang dan antusias sekali. Bahkan mereka bergaya, seolah-olah sudah
menjadi seorang pemain basket handal. Wow… aku benar-benar surprise. Petunjuk
Allah yang datang tiba-tiba tanpa pernah aku pikirkan sebelumnya.
“Rabbi,
bersyukur hanya kepada-Mu atas semua ini,” batinku sembari tersenyum bahagia
melihat kegembiraan anak-anak di hadapanku.
Alhamdulillah
dengan metode tersebut, aku bisa membuat mereka berebut untuk maju bercerita di
depan. Mereka juga sangat bangga ketika bercerita di hadapan teman-temannya
tentang impian indahnya nanti ketika mereka sudah besar.
Kejutan dari
Allah yang tak pernah aku sangka-sangka. Menghadirkan anak-anak hebat dalam
kehidupanku, meskipun hanya setahun aku mendidik dan mengajari mereka. Tapi,
hati kami telah tertautkan. Kami punya impian bersama, suatu saat nanti. Pergi
ke Tanah Suci bersama-sama dan melihat keindahan Paris dengan Menara Eifelnya.
Anak-anakku,
harapanku, impianku nanti. Aku berharap mereka bisa menjadi seorang pemimpin
yang shalih dan shalihah di negeri ini. Membawa pencerahan dan
kebaikan-kebaikan untuk agama, bangsa dan Negara. Juga orang tua dan
masyarakatnya.
Aku berharap
bahwa impian-impian yang kami jalin itu bisa terwujudkan nanti, ketika mereka
sudah mampu melakukannya. Muel, Seva, Azzam dan Sharin bisa mengunjungi Negara
yang mereka impikan. In Shaa-a Allah… aamiin.
Aku berharap
pada-Mu Ya Rabb, mampukan kami untuk bisa mewujudkan semua impian kami. Berilah
kami kemudahan dan kekuatan untuk bisa menggapainya. Meraih semua impian dan
harapan dengan mengetuk pintu takdir-Mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar