Syukurku Tertambat di sini
Saya berjalan perlahan menyusuri gang kecil di tepi sebuah sungai.
Pemandangan khas yang dulu ketika saya kecil, hampir setiap hari saya nikmati.
Lambain baju yang digantung di depan rumah, menghiasai sepanjang jalan yang
saya lewati.
Seperti mengingat masa lalu, anganku pun melayang jauh ke empat puluh
tahun yang lalu. Aku dengan teman-teman kecilku. Berlarian di sepanjang sungai
di depan rumah saya. Terkadang, saya masuk ke sungai itu untuk menangkap ikan
gatul yang banyak hidup di sana. Meskipun bayrannya adalah, kaki saya
gatal-gatal dan memerah.
Saya sangat menikmati masa kecil saya. Tanpa tekanan dan paksaan. Bapak
dan Ibu saya adalah orang yang demokratis sekali. hampir sebagian besar waktu
kecil saya, saya habiskan dengan bermain. Mashaa Allah benar. Semua mengalir
indah, seindah aliran air sungai yang bening dan mengalir perlahan.
Alunan surah Yaasin mengiringi kedatangan saya di TPQ Ar-Rohmah yang
berlokasi di jalan Pacar Kembang XII/32, Surabaya. Saya mengira kalau lokasi
TPQ tersebut adalah di sebuah masjid atau rumah yang besar. Bukan di gang
sekecil ini. Benar-benar surprise dari Allah yang tak ternilai harganya.
Saya benar-benar terkejut dengan surprise tersebut.
Tidak hanya itu, saya juga sangat terkejut, ketika melihat betapa
banyaknya anak-anak dan ibu-ibu yang berkumpul di situ. Mashaa Allah, diluar
perhitungan saya. Mereka memenuhi hampir separo gang. Jumlahnya sekitar dua
ratusan. Pantas saja semua warga tahu kalau di rumah bu Muntik ada pengajian.
Ternyata kegitan tersebut adalah sebuah agenda rutin tahunan.
Setiap tahun, menjelang bulan puasa, mereka selalu mengadakan kegiatan
rutin tersebut. Jumlah jama’ah mereka lebih dari tiga ratusan. Tapi yang
sekarang diundang pada acara tersebut hanya anak yatim dan dhuafa. Jadi tidak
terlalu banyak. Karena sekalian memberikan santunan kepada mereka.
Saya pun diperkenalkan kepada pengelola atau yayasan Ar-Rohmah, bu
Mutmainnah atau biasa dipanggil bu Muntik. Jangan sampai salah mengucap dengan
mengganti huruf vokalnya, nanti malah beda arti (mantik=pemantau
jentik-jentik). Itu yang diucapkan Habbi, boneka muppet yang mendampingi saya
bercerita di sana.
Riuh rendah suara anak-anak dan ibu-ibu memenuhi suasana pengajian
tersebut. Yah, mereka sedang menikmati kue bikang dan air mineral gelas yang
dibagikan oleh panitia. Sembari menikmati kegembiraan mereka, saya juga mencoba
kue bikang kegemaran saya itu. Subhanallah, nikmat sekali. sudah lama saya
tidak menikmatinya.
Tibalah saatnya saya harus bercerita di hadapan anak-anak dan orang
tuanya. Habbi saya letakkan di tangan kanan saya, sementara tangan kiri
memegang microphone. Salam pun saya ucapkan. Habbi menirukan dengan
logat kanak-kanaknya. Balasan salam sangat meriah. Terlihat wajah-wajah mereka
tertawa bahagia.
“Ya Rabb, semoga mereka bisa medapatkan kebahagiaan dengan cerita yang
saya sampaikan,” batin saya sembari memainkan Habbi. Wajah-wajah ceria itu
tertawa mendengarkan dialog antara saya dengan Habbi. Bahagia rasanya bisa
menghibur mereka, anak- anak yatim dan dhuafa. Senyum mereka adalah kebahagiaan
buat saya.
Semua larut dalam cerita yang saya bawakan. Cerita nabi Nuh dan Akhlaq
Mulia Rasulullah begitu memesona mereka. Sepertinya mereka belum pernah
mendengar cerita nabi tersebut. Iba hati saya mendengarnya. “Nanti saya akan
berbicara dengan bu Munthik, agar saya diberi kesempatan untuk bisa
membahagiakan mereka pada kesempatan lain.
Acara berlangsung dengan meriah. Cerita yang saya sajikan sangat mereka
sukai. Tentang nabi Nuh dengan anaknya yang bernama Kan-an. Juga cerita tentang
akhlaq mulia Rasulullah, tentang seorang gadis kecil di kota Medinah pada saat
lebaran.
Sebelum saya berpindah ke lokasi bercerita yang satunya, saya duduk di
depan rumah bu Munthik. Ada seorang perempuan setengah tua sedang menggendong cucunya. Bayi kecil yang lucu, sayang saya lupa menanyakan
siapa namanya. Saya segera mendekat dan berpindahlah sang bayi ke tangan saya.
“Bu, boleh saya ambil cucunya menjadi anak saya?” tanya saya pada
perempuan tersebut, yang tak lain adalah nenek dari si bayi. Penuh harap,
semoga nenek tersebut mau melepaskan si bayi lucu kepada saya. Mbak Iffah
mengatakan bahwa ibu si bayi sudah meninggal pada saat melahirkan bayi
tersebut. Iba hati saya mendengarnya.
“Ya gak boleh kak, saudara-saudara juga minta semua, tapi tidak saya
berikan. Ini hiburan saya, pengganti ibunya,” jawab si nenek seolah berusaha
mengatakan bahwa cucunya tidak akan dia berikan kepada saya. Entah mengapa,
hati saya segera tertambat ke bayi tersebut. Mungkin karena wajah polosnya yang
lucu itulah yang membuat saya jatuh cinta padanya.
Kami pun berbincang-bincang tentang ibu si bayi dan ayahnya. Dari cerita
yang disampaikan si nenek, saya benar-benar sedih mendengarnya. Butiran bening
mengambang di kelopak mata saya. Aduh, jangan sampai keluar, nanti saya malu
dibuatnya. Ketahuan kalau cengeng.
Rabbi, semua takdir yang telah
Engkau gariskan untuk saya, ternyata mempunyai makna yang sangat mendalam. Ada
kebahagiaan yang Engkau selipkan dalam setiap torehan takdir-Mu. Dan kali ini
saya benar-benar menikmatinya dengan limpahan rasa syukur kepada-Mu Ya Allah.
Kekecewaan karena tidak dapat berangkat bersama dengan teman-teman ke
Jakarta, telah digantikan Allah dengan kebahagiaan lain. Yang mungkin saja
tidak pernah akan saya dapatkan kalau saya ke Jakarta. Seorang bayi mungil
tanpa ibu sempat menghilangkan sedikit kekecewaan hati saya.
Syukurku akan semua takdir-Mu aku labuhkan di tempat ini, sebuah Taman
Pendidikan Qur’an yang belum pernah aku ketahui sebelumnya. Bukan kebahagiaan
karena meteri saja, melainkan kebahagiaan dalam hati. Tak akan bisa dibayar
dengan apapun.
Syukur ini saya tambatkan di tempat yang tidak pernah aku bayangkan
sebelumnya. Di TPQ Ar Rohmah, dari santri-santri mereka itulah saya banyak
belajar tentang arti kehidupan. Miss you mbak Iffah dan bu Munthik…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar