Sabtu, 03 Juni 2017

Syukurku Tertambat di sini

Syukurku Tertambat di sini

Saya berjalan perlahan menyusuri gang kecil di tepi sebuah sungai. Pemandangan khas yang dulu ketika saya kecil, hampir setiap hari saya nikmati. Lambain baju yang digantung di depan rumah, menghiasai sepanjang jalan yang saya lewati.
Seperti mengingat masa lalu, anganku pun melayang jauh ke empat puluh tahun yang lalu. Aku dengan teman-teman kecilku. Berlarian di sepanjang sungai di depan rumah saya. Terkadang, saya masuk ke sungai itu untuk menangkap ikan gatul yang banyak hidup di sana. Meskipun bayrannya adalah, kaki saya gatal-gatal dan memerah.
Saya sangat menikmati masa kecil saya. Tanpa tekanan dan paksaan. Bapak dan Ibu saya adalah orang yang demokratis sekali. hampir sebagian besar waktu kecil saya, saya habiskan dengan bermain. Mashaa Allah benar. Semua mengalir indah, seindah aliran air sungai yang bening dan mengalir perlahan.
Alunan surah Yaasin mengiringi kedatangan saya di TPQ Ar-Rohmah yang berlokasi di jalan Pacar Kembang XII/32, Surabaya. Saya mengira kalau lokasi TPQ tersebut adalah di sebuah masjid atau rumah yang besar. Bukan di gang sekecil ini. Benar-benar surprise dari Allah yang tak ternilai harganya. Saya benar-benar terkejut dengan surprise tersebut.
Tidak hanya itu, saya juga sangat terkejut, ketika melihat betapa banyaknya anak-anak dan ibu-ibu yang berkumpul di situ. Mashaa Allah, diluar perhitungan saya. Mereka memenuhi hampir separo gang. Jumlahnya sekitar dua ratusan. Pantas saja semua warga tahu kalau di rumah bu Muntik ada pengajian. Ternyata kegitan tersebut adalah sebuah agenda rutin tahunan.
Setiap tahun, menjelang bulan puasa, mereka selalu mengadakan kegiatan rutin tersebut. Jumlah jama’ah mereka lebih dari tiga ratusan. Tapi yang sekarang diundang pada acara tersebut hanya anak yatim dan dhuafa. Jadi tidak terlalu banyak. Karena sekalian memberikan santunan kepada mereka.
Saya pun diperkenalkan kepada pengelola atau yayasan Ar-Rohmah, bu Mutmainnah atau biasa dipanggil bu Muntik. Jangan sampai salah mengucap dengan mengganti huruf vokalnya, nanti malah beda arti (mantik=pemantau jentik-jentik). Itu yang diucapkan Habbi, boneka muppet yang mendampingi saya bercerita di sana.
Riuh rendah suara anak-anak dan ibu-ibu memenuhi suasana pengajian tersebut. Yah, mereka sedang menikmati kue bikang dan air mineral gelas yang dibagikan oleh panitia. Sembari menikmati kegembiraan mereka, saya juga mencoba kue bikang kegemaran saya itu. Subhanallah, nikmat sekali. sudah lama saya tidak menikmatinya.
Tibalah saatnya saya harus bercerita di hadapan anak-anak dan orang tuanya. Habbi saya letakkan di tangan kanan saya, sementara tangan kiri memegang microphone. Salam pun saya ucapkan. Habbi menirukan dengan logat kanak-kanaknya. Balasan salam sangat meriah. Terlihat wajah-wajah mereka tertawa bahagia.
“Ya Rabb, semoga mereka bisa medapatkan kebahagiaan dengan cerita yang saya sampaikan,” batin saya sembari memainkan Habbi. Wajah-wajah ceria itu tertawa mendengarkan dialog antara saya dengan Habbi. Bahagia rasanya bisa menghibur mereka, anak- anak yatim dan dhuafa. Senyum mereka adalah kebahagiaan buat saya.
Semua larut dalam cerita yang saya bawakan. Cerita nabi Nuh dan Akhlaq Mulia Rasulullah begitu memesona mereka. Sepertinya mereka belum pernah mendengar cerita nabi tersebut. Iba hati saya mendengarnya. “Nanti saya akan berbicara dengan bu Munthik, agar saya diberi kesempatan untuk bisa membahagiakan mereka pada kesempatan lain.
Acara berlangsung dengan meriah. Cerita yang saya sajikan sangat mereka sukai. Tentang nabi Nuh dengan anaknya yang bernama Kan-an. Juga cerita tentang akhlaq mulia Rasulullah, tentang seorang gadis kecil di kota Medinah pada saat lebaran.
Sebelum saya berpindah ke lokasi bercerita yang satunya, saya duduk di depan rumah bu Munthik. Ada seorang perempuan setengah tua sedang  menggendong cucunya. Bayi  kecil yang lucu, sayang saya lupa menanyakan siapa namanya. Saya segera mendekat dan berpindahlah sang bayi ke tangan saya.
“Bu, boleh saya ambil cucunya menjadi anak saya?” tanya saya pada perempuan tersebut, yang tak lain adalah nenek dari si bayi. Penuh harap, semoga nenek tersebut mau melepaskan si bayi lucu kepada saya. Mbak Iffah mengatakan bahwa ibu si bayi sudah meninggal pada saat melahirkan bayi tersebut. Iba hati saya mendengarnya.
“Ya gak boleh kak, saudara-saudara juga minta semua, tapi tidak saya berikan. Ini hiburan saya, pengganti ibunya,” jawab si nenek seolah berusaha mengatakan bahwa cucunya tidak akan dia berikan kepada saya. Entah mengapa, hati saya segera tertambat ke bayi tersebut. Mungkin karena wajah polosnya yang lucu itulah yang membuat saya jatuh cinta padanya.
Kami pun berbincang-bincang tentang ibu si bayi dan ayahnya. Dari cerita yang disampaikan si nenek, saya benar-benar sedih mendengarnya. Butiran bening mengambang di kelopak mata saya. Aduh, jangan sampai keluar, nanti saya malu dibuatnya. Ketahuan kalau cengeng.
 Rabbi, semua takdir yang telah Engkau gariskan untuk saya, ternyata mempunyai makna yang sangat mendalam. Ada kebahagiaan yang Engkau selipkan dalam setiap torehan takdir-Mu. Dan kali ini saya benar-benar menikmatinya dengan limpahan rasa syukur kepada-Mu Ya Allah.
Kekecewaan karena tidak dapat berangkat bersama dengan teman-teman ke Jakarta, telah digantikan Allah dengan kebahagiaan lain. Yang mungkin saja tidak pernah akan saya dapatkan kalau saya ke Jakarta. Seorang bayi mungil tanpa ibu sempat menghilangkan sedikit kekecewaan hati saya.
Syukurku akan semua takdir-Mu aku labuhkan di tempat ini, sebuah Taman Pendidikan Qur’an yang belum pernah aku ketahui sebelumnya. Bukan kebahagiaan karena meteri saja, melainkan kebahagiaan dalam hati. Tak akan bisa dibayar dengan apapun.
Syukur ini saya tambatkan di tempat yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Di TPQ Ar Rohmah, dari santri-santri mereka itulah saya banyak belajar tentang arti kehidupan. Miss you mbak Iffah dan bu Munthik…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar