Jumat, 01 Maret 2013

Aku Juga Butuh "Diakui"!!!

 Enam tahun yang lalu, masih lekat dalam ingatanku, ada salah seorang wali murid yang datang ke rumah. Dia curhat tentang keponakannya yang sekarang bertambah "nakal". Katanya dulu anak tersebut baik sekali, tidak pernah membantah dan selalu taat kepada orang tuanya. Akan tetapi ketika dia menginjak kelas tiga Sekolah Dasar dan mempunyai adik, "nakalnya" sungguh luar biasa. Kemudian aku bertanya, "nakal" yang seperti apa sih bunda?". Karena kalau aku melihat, di sekolah anakku, pada usia kelas tiga dan empat itulah masa eksplorasi diri dari anak, sehingga dia membutuhkan penghargaan dan pengakuan dari lingkungan sekitarnya tentang eksistensi dirinya.

Kemudian, wali muridku tadi bercerita tentang keponakannya. Saat ini, anak tersebut menjadi pembangkang, selalu membantah apapun yang dikatakan oleh ibunya. Bahkan yang lebih parah lagi, setiap pulang sekolah, dia selalu pergi bersepeda ke Pelabuhan Tanjung Perak. Ketika ditanya, jawabannya sungguh mengejutkan, yaitu karena dia merasa nyaman disana sambil menyaksikan lalu lalang orang yang pergi dan datang dengan kapal.



Sejenak aku terdiam mendengar penuturan dari wali muridku tadi. Masya Allah, aku merasa kasihan benar dengan anak tersebut. Aku menyarankan kepada tantenya untuk mempertemukan aku dengan ibunya agar bisa berbicara empat mata dan menyelesaikan permasalahan anaknya tersebut.

Ada lagi sebuah cerita, tentang anak usia kelas empat Sekolah Dasar. Bundanya merasa kewalahan dengan kebiasaannya berbohong dan "kenakalan" yang sekarang dilakukan oleh anaknya. Bahkan "katanya" final dari semua perbuatan anaknya itu adalah hukuman fisik yang diberikan oleh ayahnya.


Contoh dua kasus tersebut diatas adalah beberapa penggalan cerita tentang "kenakalan" anak usia tersebut (kelas tiga dan empat Sekolah Dasar). Sebenarnya, kalau orang tua bisa bersikap dengan bijak, kejadian tersebut tidak akan ber-ekor panjang. Penyelesaiannya sebenarnya sangat simple sekali. Kunci dari semua permasalahan tersebut ada di orang tua, khususnya ibunya.



Pada usia delapan sampai sepuluh tahun, setiap anak akan mengalami masa dimana dia mulai ingin menunjukkan eksistensi dirinya. Dia membutuhkan pengakuan yang positif dari lingkungan dimana dia berada. Apabila semua itu "terwadahi" dengan baik, Insya Allah semua akan berjalan dengan baik pula. Artinya,adalah bahwa pada usia tersebut, anak membutuhkan "sesuatu" yang baru dari lingkungan dimana dia tinggal tentang keberadaan dirinya.

Nah, orang tua harus paham tentang kondisi tersebut. Dengan tidak memunculkan sikap negatif tentang apapun yang dilakukannya. Aku mempunyai empat orang anak. Kedua anakku (nomor satu dan dua) ketika menginjak usia tersebut mengalami hal yang sama pula. Perilakunya yang semula "baik" berubah menjadi "sangat menjengkelkan". Dia suka marah-marah (sensitif), suka mengganggu adik-adiknya, suka berbuat iseng, suka seenaknya sendiri dan suka membantah. Aku dan suami memang pada awalnya sempat bingung dengan kondisi psikis anak kami tersebut. Ada apa dengan anakku? Mengapa perilakunya sangat berbeda dengan sebelumnya? Masya Allah, apa yang harus aku dan suamiku lakukan?


Saat itu, kami tidak bertindak gegabah dengan memberikan feedback negatif kepada anak-anak kami. Bahkan aku dan suami sempat tersenyum melihat perubahan yang terjadi pada diri mereka. Ya Allah, ternyata adiknya juga mengalami hal yang sama dengan kakaknya. Kami berikan kasih sayang lebih kepada mereka. Bahkan ketika semua orang yang ada di rumah menjustifikasi "kenakalannya", kami berusaha menjadi pelindungnya. Memang penuh perjuangan, akan tetapi Alhamdulillah dengan cara yang kami lakukan tersebut membuahkan hasil yang memuaskan.


Berikut ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi dan mengeliminasi permasalahan yang muncul dengan anak-anak kita pada usia tersebut. Ada lima cara yang bisa kita lakukan, yaitu sebagai berikut :



1.Jika anak salah jangan langsung dimarahi

Ketika anak berbuat salah,seorang anak pasti merasa takut dan gelisah.  Langkah terbaik yang kita lakukan adalah dengan menegur mereka dengan halus agar dapat menenangkan perasaan mereka. Setelah itu, kita tunjukan kepada mereka dimana letak kesalahan yang sudah mereka lakukan dan bagaimana mengambil langkah terbaik untuk memperbaiki kesalahan yang sudah dilakukan oleh sang anak.


2.Selalu ada waktu untuk berkomunikasi dengan keluarga

Komunikasi adalah kunci dari semua permasalahan yang muncul antara orang tua dengan anaknya. Pada kasus tersebut diatas, perlu adanya keterbukaan antara orang tua dan anak. Orang tua perlu tahu apa yang diinginkan oleh anak, begitu pula sebaliknya, Anak juga harus "ditahukan" apa maunya orang tua. Dengan adanya komunikasi dua arah ini, akan memudahkan bagi orang tua dan anak menempatkan diri pada posisinya masing-masing.  Interaksi yang dilakukan antara orang tua dengan anak melalui  komunikasi dua arah tersebut, akan mengikis jarak yang muncul diantara orangtua dan anak.



3.Ajarkan kepedulian sosial
Anak usia tersebut diatas memang keperdulian terhadap lingkungan sekitarnya agak mengalami kemunduran. Artinya, anak yang semula mempunyai keperdulian sosial yang tinggi yang telah ditanamkan  oleh orang tua sejak dini akan mengalami perubahan. Anak menjadi cuek dan tidak perduli/tidak peka akan lingkungan sekitanya. Nurani anak untuk senantiasa berbagi dan responsif atas kejadian di sekitarnya mengalami penurunan. Nah, pada saat inilah, orang tua mempunyai peranan penting untuk menanamkan kembali tentang nilai-nilai keperdulian terhadap sesama tersebut. Dengan mereview kembali apa yang sudah diberikan kepada anak tentang keperdulian akan lingkungan sosial mereka, Insya Allah akan menjadikan anak peka kembali dan memiliki keperdulian sosial yang tinggi.


4.Tanggung jawab

Pada usia tersebut adalah saat yang "sangat tepat" untuk memunculkan kemabali rasa tanggung jawab pada diri anak. Ajarkan contoh-contoh kecil untuk bertanggung jawab akan apa yang sudah dilakukannya. Orang tua selalu dan tidak bosan-bosannya mengingatkan kepada anak akan apa arti tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari, misalnya selepas bermain ajari anak untuk merapikan mainannya. Apabila dibiasakan,tanggung jawab anak akan muncul dalam linkungan kesehariannya. Dengan catatan bahwa perilaku dari orang tua juga mendukung untuk itu.




5. Memberi Teladan
Orang tua adalah teladan terbaik untuk anaknya. Seorang anak pada umumnya mempunyai sifat menirukan apa yang orang tuanya lakukan. Jadi berikanlah contoh hal-hal yang baik kepada anak-anak kita agar mereka juga menirukan hal yang baik pula. Seperti contoh tentang bagaimana mengajarkan shalat. Ketika kita memaksa mereka untuk mau melakukan shalat, terkadang sulitnya bukan main. Akan tetapi dengan cotoh riil dari orang tua, Insya Allah anak akan mengikutinya. Kedua anakku selalu aku ingatkan untuk shalat tepat waktu dan menjalankan shalat-shalat sunnah. Pada awalnya kami sempat bingung juga bagaimana cara memotivasi mereka supaya mau melakukannya. Alhamdulillah dengan contoh riil dari kami orang tuanya, sekarang ini mereka sudh terbiasa untuk shalat tepat waktu dan melakukan shalat-shalat sunnah sebgaimana yang kami lakukan.



Semoga tulisan tersebut bisa menjadi renungan bagi kita sebagai orang tua dalam mendidik dan membesrkan anak-anak kita dan mengantarkan mereka menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah. Insya Allah Aamiin.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar