Kamis, 28 Februari 2013

Ketika Aku Dimengerti



Ketika kita masih kecil dulu, orang tua kita selalu memberikan doktrin-doktrin yang harus kita lakukan. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Anehnya, kita saat itu merasa enjoy saja, tidak protes dan seolah tidak keberatan untuk melakukan semua itu.

Saat ini, dimana perkembangan teknologi semakin tinggi dan asupan gizi untuk ibu hamil dan anak balita sudah semakin baik, semua berubah. Anak tidak lagi bisa diatur-atur semau orang tua. Kita para orang tua yang harus bisa "mengendalikan mereka agar kita tidak dikendalikan oleh mereka.Mengapa demikian?


Masih teringat benar ketika almarhum pak Kumis (pak Ismadi Retty), berpesan kepadaku tentang bagaimana mengasuh anak-anakku. Beliau mengatakan bahwa kita sebagai orang tua itu seperti sedang bermain layang-layang. Ditarik dan diulur. Ada saatnya kita “tegas” kepada anak kita agar mau melakukan aturan-aturan yang kita buat bersama dengan mereka. Dan ada saatnya mereka kita lepaskan untuk berekspresi dan bereksplorasi. Karena dengan begitu synap-synap otak mereka akan bersambung satu dengan lainnya dan Insya Allah perkembangan otak anak kita akan bisa lebih optimal.

Lima tahun yang lalu, setelah kami (aku dan suami) mengenal Beliau, aku mencoba mempraktekkan pesan darinya. Waktu itu anakku yang pertama masih duduk di kelas empat Sekolah Dasar. Karena sewaktu kecil dia tidak pernah (jarang) bermain diluar rumah, maka masa bermainnya berulang pada saat dia kelas empat tersebut. Biasanya ketika pulang sekolah, anakku langsung mandi dan kemudian bermain komputer atau tiduran atau membaca buku sambil menunggu adzan Magrib (sekolahnya fullday). Yang dilakukannya pada saat kelas empat itu sungguh bertolak belakang dengan kebiasaannya selama ini.

Pulang sekolah, tas diletakkan di meja belajar dan langsung tancap gas bermain layang-layang keluar rumah sampai menjelang Magrib. Setelah itu pulang, mandi dan berangkat ke Masjid untuk shalat. Setelah selesai shalat langsung makan dan bermain keluar rumah dengan teman-teman disekitar rumah sampai Isya’. Selesai shalat Isya’ langsung bermain sampai jam sembilan malam. Sehari, dua hari masih bisa aku tolelir. Dan ternyata “kebiasaan” baru tersebut berlangsung hampir sebulan.

Finalnya adalah ketika hujan dan waktu menunjukkan pukul sembilan malam, anakku belum pulang. Dia masih bermain keluar rumah dengan teman-temannya. Yang putrinya marah-marah, aku yang jadi sasarannya. Kutahan hati ini jangan sampai marah dihadapan anakku karena aku tahu kalau dia tipe anak yang penurut dan mudah dikelola. Perlahan kulangkahkan kaki keluar rumah. Kubuka pagar dan kulongokkan kepalaku kekanan dan kekiri untuk melihat apakah anakku ada disekitar rumah atau tidak. Alhamdulillah, ternyata dia bermain sepak bola didepan rumah sebelah. Kupanggil dia, dan aku melihat kalau dia tampak takut kalau aku marah.

“Mas, masuk nak, sudah jam sembilan. Cuci tangan dan kaki, ganti baju dan ditunggu ummi di kantor ya”, sapaku kepada anakku. Tanpa banyak bicara dia melakukan yang aku perintahkan. Dengan kepala tertunduk dan setengah takut karena tahu kalau dia salah, anakku duduk dihadapanku. Aku diam sejenak. Kulihat wajah anakku dalam-dalam, ada ketakutan tersembunyi disana.

“Mas, ummi mau tanya, kenapa sekarang ini mas Haqqi kok sering main keluar rumah, bahkan ummi tidak pernah melihat lagi mas Haqqi membaca buku ketika di rumah. Setiap hari bermain dan bermain terus”, tanyaku perlahan.
Jawaban yang diberikan sungguh diluar dugaan. “Aku nggak tahu ummi, sekarang ini kok rasanya aku pingin main terus, gak pingin belajar seperti dulu”, jawab Haqqi sambil menunggu reaksiku.
Sejenak aku merenung dan akhirnya kutemukan jawabannya. Dengan mantap dan penuh kasih aku usap kepalanya dan aku menjawab, “Oke mas, ummi memang punya hutang sama kamu. Ketika kamu kecil, ummi memang tidak pernah membiarkan kamu bermain di luar rumah, jadi hanya bermain didalam rumah saja. Nah, sekarang hutang itu ummi bayar. Kamu boleh bermain sepuasnya selama kelas empat ini, tetai nanti kalau sudah naik kelas lima sudah berhenti ya?”. Anakku kaget melihat jawaban yang aku berikan. “Benar ummi?”, tanyanya setengah tidak percaya.

“Ya mas, tapi kamu janji ya nanti setelah kenaikan kelas kamu sudah tidak boleh lagi bermain keluar rumah”, jawabku setengah lega.
“Benar ummi? Ummi tidak marah padaku? Kalau begitu aku tidak usah dibelikan buku paket ya ummi karena percuma nanti tidak akan kubaca. Sayang buang-buang uang untuk beli buku”, jawab Haqqi terlihat gembira sekali.
Aku dipeluk dan dari bibirnya keluar ucapan yang tidak akan pernah aku lupakan, “Terima kasih Ummi, sudah mengerti dan membelaku dihadapan yang Ti”.
Dengan perlahan aku jawab,”Oke mas, Ummi percaya sama kamu dan Insya Allah Ummi yakin kalau kamu tidak akan berbohong atau ingkar janji sama ummi. Buktikan kepada Ummi ya janji kamu”. Dengan perlahan anakku menganggukkan kepalanya.
Setelah perjanjian kami lakukan, Haqqi terus melanjutkan rutinitas bermainnnya. Bahkan dia terlihat senang dengan “rutinitas” barunya itu.
Waktu terus berlalu, tak terasa kenaikan kelas sudah tiba. Aku memang tidak pernah men-target anak-anakku kalau akademisnya harus bagus, akan tetapi aku hanya berusaha memunculkan kemauan dan keinginan mereka untuk bisa mendapatkan nilai yang terbaik, tanpa harus memaksa mereka untuk menjadi yang terbaik. Sehingga mereka tidak merasa terbebani dan enjoy bersekolah.
Alhamdulillah dengan penanganan yang baik dan penuh pengertian dari aku dan abahnya sebagai orang tuanya, pada waktu kenaikan kelas, aku sudah tidak pernah berharap kalau Haqqi akan menjadi juara atau masuk urutan sepuluh besar di sekolahnya. Mengapa? Karena dia setiap harinya hampir tidak pernah belajar... yang dilakukannya adalah bermain dan bermain. Ketika kenaikan kelas, aku dan abahnya, bahkan orang-orang serumah dibuat terkejut dengan prestasinya yang sungguh luar biasa. Dia menjadi JUARA PERTAMA di kelasnya. Sebuah  “surprise” yang sungguh mengejutkan karena dalam banak kami sebagai orang tuanya sudah tidak pernah berpikir kalau dia akan menjadi JUARA PERTAMA kalau melihat bahwa selama kelas empat ini dia hanya bermain... bermain.... dan bermain. Belajar dilakukan kalau ada Pekerjaan Rumah saja. Apa yang aku alami ini mungkin bisa menjadi sedikit pertimbangan orang tua yang masih menerapkan pola pembelajaran konvensional di rumahnya agar kita bisa meminimalisir dosa kita kepada anak kita karena sudah berperan aktif dalam menghancurkan synap-synap otak anak kita sendiri dengan tingginya target yang kita berikan kepada mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar