Jumat, 15 Februari 2013

Guru Kreatif... Sekolah Asyik

Pernah pada suatu hari, ketika anakku yang pertama pulang dari sekolah. Wajahnya terlihat penat dan penuh beban. Aduh... aku merasa kasihan sekali melihatnya. Rasa bersalah muncul karena aku sudah menyekolahkannya kesebuah sekolah yang cukup lumayan jauh dari rumahku. Dan yang lebih membuatku merasa kasihan kepadanya adalah pulang sekolahnya yang terlalu siang, yaitu jam satu siang. Jadi selama lima setengah jam anakku harus menerima beban materi yang menurutku terlalu berat. Menghafalkan surat-surat pendek, menulis dan seabrek lagi materi-materi yang diberikan akan tetapi kalau aku melihat dari kacamataku sendiri .... sungguh aku mengakui kalau itu terlalu berat untuk anak seusianya. Alhasil, beberapa waktu kemudian anakku mulai merasa jenuh, Setiap kali mau berangkat sekolah, dia selalu beralasan kalau sakit perut-lah...sakit kepala atau kalau tidak dia bilang badanku nggak enak ummi... aku nggak mau sekolah.

Waduh... bagaimana ini kok tidak sesuai dengan rencana??? Padahal aku berharap dengan menyekolahkannya di sekolah tersebut akan membuat anakku "hebat" dan berkembang sesuai dengan tahapan perkembangan yang diharapkan. Akan tetapi, realitanya tidaklah demikian. Anakku merasa terbebani dan di rumah, dia merasa merdeka sekali... bermain dan bermain ....

Sebuah gambaran tentang dunia pendidikan di Indonesia saat ini yang sangat konvensional. Penuh dengan tuntutan dan target-target yang hanya membebani siswa. Padahal kalau kita menengok keluar, negara-negara maju sudah menggunakan model pembelajaran yang saat ini dikenal dengan PAKEMI (Pendidikan Aktif, Kreatif, Menyenangkan dan Islami). Sebuah terobosan baru untuk menghindari peng-rusakkan otak anak-anak usia dini oleh guru dan orang tua.

Kalau kita mau mengkaji lebih dalam lagi, ketika guru-guru akan sertifikasi, semua bekal tentang bagaimana pembelajaran yang kreatif itu sudah diberikan...bahkan ada pesan sponsor  "wajib" untuk dilaksanakan di instansi sekolah masing-masing. Akan tetapi, realita berbicara lain. Meskipun jumlah guru yang sudah tersertifikasi sangat banyak, akan tetapi sedikit yang sudah melaksanakan semua materi yang sudah diberikan saat PLPG atau PPG. Sungguh sangat ironis sekali.

Dunia anak adalah bermain. Hampir separuh lebih waktunya dihabiskan untuk bermain.Akan tetapi, permasalahan yang muncul ke permukaan adalah banyak sekolah-sekolah, Kelompok Bermain dan Taman Kanak-Kanak/Raudhatul Athfal yang justru mengejar "target" untuk mendapatkan status sebagai sekolah "terbaik" dengan menghasilkan lulusan yang sudah lancar membaca dan menulis serta berhitung (calistung), padahal secara idealnya, porsi pemberian materi tersebut adalah di kelas satu Sekolah Dasar. Yang lebih parah lagi, Sekolah Dasar yang merasa menjadi sekolah favorit justru mematok harga mahal untuk calon siswa barunya, yaitu lancar membaca dan menulis. Sebuah keterpurukan dalam dunia pendidikan yang justru malah mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Anak dianggap berhasil/beprestasi kalau secara akademik nilainya bagus, padahal setiap anak mempunyai kecerdasan masing-masing dengan keunikannya.

Disinilah seorang guru kreatif sangat dibutuhkan, Dia harus mampu memberikan materi-materi yang berkaitan dengan tuntutan masyarakat, yaitu calistung tetapi dengan metode atau cara yang berbeda dari biasanya. Ada beberapa metode yang bisa dipergunakan, diantaranya bermain dan cerita atau dongeng. Dengan bermain, anak juga belajar calistung dengan bercerita, guru juga bisa menyisipkan materi-materi calistung. Hanya saja, untuk prakteknya tidak semudah itu. Tidak sedikit guru-guru masa kini yang masih mempraktekkan pembelajaran model jadul atau kolonial. Murid duduk manis, guru menerangkan di depan dan memberi tugas. Sungguh miris rasanya. Dalam beberapa jam setiap hari otak anak mendapatkan "pressure" yang mungkin tidak disengaja (menurut sekolah yang menggunakan metode tersebut). Synap-synap otak yang seharusnya tersambung dan terikat kuat, perlahan tapi pasti patah satu demi satu. Kalau sudah begitu, apakah produk yang dihasilkan akan bisa optimal?

Berbeda dengan sekolah-sekolah yang memang menempatkan siswanya sebagai subyek BUKAN obyek. Murid-murid mereka begitu senang ketika berangkat ke sekolah karena di sekolah mereka sudah berangan-angan untuk segera datang ke sekolah dan bertemu dengan bu guru yang sangat mereka sayangi. Proses belajar mengajar berjalan sebagaimana layaknya sebuah permainan antar teman. Dengan kreatifitasnya guru memodifikasi materi pembelajaran dengan menjadikan anak sebagai sentral proses pembelajaran. Insya Allah dengan demikian akan menjadikan anak senang. Nah pada saat kondisi "enjoy" itulah guru perlahan tapi pasti memasukkan materi-materi inti dalam sisipannya. Materi masuk dengan optimal tetapi siswa/anak tidak merasa kalau dia belajar. Itulah inti dari belajar pada anak usia dini, yaitu dengan permainan dan praktek secara langsung. Mereka tidak sekedar mengenal lambang bilangan, operasi penjumlahan dan pengurangan akan tetapi pemahaman konseptual tentang semua materi-materi itu sangat menentukan bagi keberhasilan mereka di jenjang pendidikan yang   lebih tinggi, yaitu Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, bahkan sampai ke Perguruan Tinggi.

Seyogyanyalah sekolah-sekolah yang ada saat ini, khususnya untuk Anak Usia Dini lebih memperhatikan kebutuhan dan kepantingan siswa-siswinya daripada kepentingan orang tua yang menuntut anaknya harus sudah bisa membaca dan menulis pada usia dini tanpa mau tahu efek kedepannya apabila dilakukan dengan cara yang salah. Semoga kita tidak menjadi guru yang seperti itu karena dosa yang kita lakukan itu akan terus mempengaruhi kehidupan mereka ketika dewasa nanti. Be a good teacher to get best generation in the future. Insya Allah Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar