Kamis, 28 Februari 2013

Ketika Aku Dimengerti



Ketika kita masih kecil dulu, orang tua kita selalu memberikan doktrin-doktrin yang harus kita lakukan. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Anehnya, kita saat itu merasa enjoy saja, tidak protes dan seolah tidak keberatan untuk melakukan semua itu.

Saat ini, dimana perkembangan teknologi semakin tinggi dan asupan gizi untuk ibu hamil dan anak balita sudah semakin baik, semua berubah. Anak tidak lagi bisa diatur-atur semau orang tua. Kita para orang tua yang harus bisa "mengendalikan mereka agar kita tidak dikendalikan oleh mereka.Mengapa demikian?


Masih teringat benar ketika almarhum pak Kumis (pak Ismadi Retty), berpesan kepadaku tentang bagaimana mengasuh anak-anakku. Beliau mengatakan bahwa kita sebagai orang tua itu seperti sedang bermain layang-layang. Ditarik dan diulur. Ada saatnya kita “tegas” kepada anak kita agar mau melakukan aturan-aturan yang kita buat bersama dengan mereka. Dan ada saatnya mereka kita lepaskan untuk berekspresi dan bereksplorasi. Karena dengan begitu synap-synap otak mereka akan bersambung satu dengan lainnya dan Insya Allah perkembangan otak anak kita akan bisa lebih optimal.

Lima tahun yang lalu, setelah kami (aku dan suami) mengenal Beliau, aku mencoba mempraktekkan pesan darinya. Waktu itu anakku yang pertama masih duduk di kelas empat Sekolah Dasar. Karena sewaktu kecil dia tidak pernah (jarang) bermain diluar rumah, maka masa bermainnya berulang pada saat dia kelas empat tersebut. Biasanya ketika pulang sekolah, anakku langsung mandi dan kemudian bermain komputer atau tiduran atau membaca buku sambil menunggu adzan Magrib (sekolahnya fullday). Yang dilakukannya pada saat kelas empat itu sungguh bertolak belakang dengan kebiasaannya selama ini.

Pulang sekolah, tas diletakkan di meja belajar dan langsung tancap gas bermain layang-layang keluar rumah sampai menjelang Magrib. Setelah itu pulang, mandi dan berangkat ke Masjid untuk shalat. Setelah selesai shalat langsung makan dan bermain keluar rumah dengan teman-teman disekitar rumah sampai Isya’. Selesai shalat Isya’ langsung bermain sampai jam sembilan malam. Sehari, dua hari masih bisa aku tolelir. Dan ternyata “kebiasaan” baru tersebut berlangsung hampir sebulan.

Finalnya adalah ketika hujan dan waktu menunjukkan pukul sembilan malam, anakku belum pulang. Dia masih bermain keluar rumah dengan teman-temannya. Yang putrinya marah-marah, aku yang jadi sasarannya. Kutahan hati ini jangan sampai marah dihadapan anakku karena aku tahu kalau dia tipe anak yang penurut dan mudah dikelola. Perlahan kulangkahkan kaki keluar rumah. Kubuka pagar dan kulongokkan kepalaku kekanan dan kekiri untuk melihat apakah anakku ada disekitar rumah atau tidak. Alhamdulillah, ternyata dia bermain sepak bola didepan rumah sebelah. Kupanggil dia, dan aku melihat kalau dia tampak takut kalau aku marah.

“Mas, masuk nak, sudah jam sembilan. Cuci tangan dan kaki, ganti baju dan ditunggu ummi di kantor ya”, sapaku kepada anakku. Tanpa banyak bicara dia melakukan yang aku perintahkan. Dengan kepala tertunduk dan setengah takut karena tahu kalau dia salah, anakku duduk dihadapanku. Aku diam sejenak. Kulihat wajah anakku dalam-dalam, ada ketakutan tersembunyi disana.

“Mas, ummi mau tanya, kenapa sekarang ini mas Haqqi kok sering main keluar rumah, bahkan ummi tidak pernah melihat lagi mas Haqqi membaca buku ketika di rumah. Setiap hari bermain dan bermain terus”, tanyaku perlahan.
Jawaban yang diberikan sungguh diluar dugaan. “Aku nggak tahu ummi, sekarang ini kok rasanya aku pingin main terus, gak pingin belajar seperti dulu”, jawab Haqqi sambil menunggu reaksiku.
Sejenak aku merenung dan akhirnya kutemukan jawabannya. Dengan mantap dan penuh kasih aku usap kepalanya dan aku menjawab, “Oke mas, ummi memang punya hutang sama kamu. Ketika kamu kecil, ummi memang tidak pernah membiarkan kamu bermain di luar rumah, jadi hanya bermain didalam rumah saja. Nah, sekarang hutang itu ummi bayar. Kamu boleh bermain sepuasnya selama kelas empat ini, tetai nanti kalau sudah naik kelas lima sudah berhenti ya?”. Anakku kaget melihat jawaban yang aku berikan. “Benar ummi?”, tanyanya setengah tidak percaya.

“Ya mas, tapi kamu janji ya nanti setelah kenaikan kelas kamu sudah tidak boleh lagi bermain keluar rumah”, jawabku setengah lega.
“Benar ummi? Ummi tidak marah padaku? Kalau begitu aku tidak usah dibelikan buku paket ya ummi karena percuma nanti tidak akan kubaca. Sayang buang-buang uang untuk beli buku”, jawab Haqqi terlihat gembira sekali.
Aku dipeluk dan dari bibirnya keluar ucapan yang tidak akan pernah aku lupakan, “Terima kasih Ummi, sudah mengerti dan membelaku dihadapan yang Ti”.
Dengan perlahan aku jawab,”Oke mas, Ummi percaya sama kamu dan Insya Allah Ummi yakin kalau kamu tidak akan berbohong atau ingkar janji sama ummi. Buktikan kepada Ummi ya janji kamu”. Dengan perlahan anakku menganggukkan kepalanya.
Setelah perjanjian kami lakukan, Haqqi terus melanjutkan rutinitas bermainnnya. Bahkan dia terlihat senang dengan “rutinitas” barunya itu.
Waktu terus berlalu, tak terasa kenaikan kelas sudah tiba. Aku memang tidak pernah men-target anak-anakku kalau akademisnya harus bagus, akan tetapi aku hanya berusaha memunculkan kemauan dan keinginan mereka untuk bisa mendapatkan nilai yang terbaik, tanpa harus memaksa mereka untuk menjadi yang terbaik. Sehingga mereka tidak merasa terbebani dan enjoy bersekolah.
Alhamdulillah dengan penanganan yang baik dan penuh pengertian dari aku dan abahnya sebagai orang tuanya, pada waktu kenaikan kelas, aku sudah tidak pernah berharap kalau Haqqi akan menjadi juara atau masuk urutan sepuluh besar di sekolahnya. Mengapa? Karena dia setiap harinya hampir tidak pernah belajar... yang dilakukannya adalah bermain dan bermain. Ketika kenaikan kelas, aku dan abahnya, bahkan orang-orang serumah dibuat terkejut dengan prestasinya yang sungguh luar biasa. Dia menjadi JUARA PERTAMA di kelasnya. Sebuah  “surprise” yang sungguh mengejutkan karena dalam banak kami sebagai orang tuanya sudah tidak pernah berpikir kalau dia akan menjadi JUARA PERTAMA kalau melihat bahwa selama kelas empat ini dia hanya bermain... bermain.... dan bermain. Belajar dilakukan kalau ada Pekerjaan Rumah saja. Apa yang aku alami ini mungkin bisa menjadi sedikit pertimbangan orang tua yang masih menerapkan pola pembelajaran konvensional di rumahnya agar kita bisa meminimalisir dosa kita kepada anak kita karena sudah berperan aktif dalam menghancurkan synap-synap otak anak kita sendiri dengan tingginya target yang kita berikan kepada mereka.

Jumat, 15 Februari 2013

Guru Kreatif... Sekolah Asyik

Pernah pada suatu hari, ketika anakku yang pertama pulang dari sekolah. Wajahnya terlihat penat dan penuh beban. Aduh... aku merasa kasihan sekali melihatnya. Rasa bersalah muncul karena aku sudah menyekolahkannya kesebuah sekolah yang cukup lumayan jauh dari rumahku. Dan yang lebih membuatku merasa kasihan kepadanya adalah pulang sekolahnya yang terlalu siang, yaitu jam satu siang. Jadi selama lima setengah jam anakku harus menerima beban materi yang menurutku terlalu berat. Menghafalkan surat-surat pendek, menulis dan seabrek lagi materi-materi yang diberikan akan tetapi kalau aku melihat dari kacamataku sendiri .... sungguh aku mengakui kalau itu terlalu berat untuk anak seusianya. Alhasil, beberapa waktu kemudian anakku mulai merasa jenuh, Setiap kali mau berangkat sekolah, dia selalu beralasan kalau sakit perut-lah...sakit kepala atau kalau tidak dia bilang badanku nggak enak ummi... aku nggak mau sekolah.

Waduh... bagaimana ini kok tidak sesuai dengan rencana??? Padahal aku berharap dengan menyekolahkannya di sekolah tersebut akan membuat anakku "hebat" dan berkembang sesuai dengan tahapan perkembangan yang diharapkan. Akan tetapi, realitanya tidaklah demikian. Anakku merasa terbebani dan di rumah, dia merasa merdeka sekali... bermain dan bermain ....

Sebuah gambaran tentang dunia pendidikan di Indonesia saat ini yang sangat konvensional. Penuh dengan tuntutan dan target-target yang hanya membebani siswa. Padahal kalau kita menengok keluar, negara-negara maju sudah menggunakan model pembelajaran yang saat ini dikenal dengan PAKEMI (Pendidikan Aktif, Kreatif, Menyenangkan dan Islami). Sebuah terobosan baru untuk menghindari peng-rusakkan otak anak-anak usia dini oleh guru dan orang tua.

Kalau kita mau mengkaji lebih dalam lagi, ketika guru-guru akan sertifikasi, semua bekal tentang bagaimana pembelajaran yang kreatif itu sudah diberikan...bahkan ada pesan sponsor  "wajib" untuk dilaksanakan di instansi sekolah masing-masing. Akan tetapi, realita berbicara lain. Meskipun jumlah guru yang sudah tersertifikasi sangat banyak, akan tetapi sedikit yang sudah melaksanakan semua materi yang sudah diberikan saat PLPG atau PPG. Sungguh sangat ironis sekali.

Dunia anak adalah bermain. Hampir separuh lebih waktunya dihabiskan untuk bermain.Akan tetapi, permasalahan yang muncul ke permukaan adalah banyak sekolah-sekolah, Kelompok Bermain dan Taman Kanak-Kanak/Raudhatul Athfal yang justru mengejar "target" untuk mendapatkan status sebagai sekolah "terbaik" dengan menghasilkan lulusan yang sudah lancar membaca dan menulis serta berhitung (calistung), padahal secara idealnya, porsi pemberian materi tersebut adalah di kelas satu Sekolah Dasar. Yang lebih parah lagi, Sekolah Dasar yang merasa menjadi sekolah favorit justru mematok harga mahal untuk calon siswa barunya, yaitu lancar membaca dan menulis. Sebuah keterpurukan dalam dunia pendidikan yang justru malah mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Anak dianggap berhasil/beprestasi kalau secara akademik nilainya bagus, padahal setiap anak mempunyai kecerdasan masing-masing dengan keunikannya.

Disinilah seorang guru kreatif sangat dibutuhkan, Dia harus mampu memberikan materi-materi yang berkaitan dengan tuntutan masyarakat, yaitu calistung tetapi dengan metode atau cara yang berbeda dari biasanya. Ada beberapa metode yang bisa dipergunakan, diantaranya bermain dan cerita atau dongeng. Dengan bermain, anak juga belajar calistung dengan bercerita, guru juga bisa menyisipkan materi-materi calistung. Hanya saja, untuk prakteknya tidak semudah itu. Tidak sedikit guru-guru masa kini yang masih mempraktekkan pembelajaran model jadul atau kolonial. Murid duduk manis, guru menerangkan di depan dan memberi tugas. Sungguh miris rasanya. Dalam beberapa jam setiap hari otak anak mendapatkan "pressure" yang mungkin tidak disengaja (menurut sekolah yang menggunakan metode tersebut). Synap-synap otak yang seharusnya tersambung dan terikat kuat, perlahan tapi pasti patah satu demi satu. Kalau sudah begitu, apakah produk yang dihasilkan akan bisa optimal?

Berbeda dengan sekolah-sekolah yang memang menempatkan siswanya sebagai subyek BUKAN obyek. Murid-murid mereka begitu senang ketika berangkat ke sekolah karena di sekolah mereka sudah berangan-angan untuk segera datang ke sekolah dan bertemu dengan bu guru yang sangat mereka sayangi. Proses belajar mengajar berjalan sebagaimana layaknya sebuah permainan antar teman. Dengan kreatifitasnya guru memodifikasi materi pembelajaran dengan menjadikan anak sebagai sentral proses pembelajaran. Insya Allah dengan demikian akan menjadikan anak senang. Nah pada saat kondisi "enjoy" itulah guru perlahan tapi pasti memasukkan materi-materi inti dalam sisipannya. Materi masuk dengan optimal tetapi siswa/anak tidak merasa kalau dia belajar. Itulah inti dari belajar pada anak usia dini, yaitu dengan permainan dan praktek secara langsung. Mereka tidak sekedar mengenal lambang bilangan, operasi penjumlahan dan pengurangan akan tetapi pemahaman konseptual tentang semua materi-materi itu sangat menentukan bagi keberhasilan mereka di jenjang pendidikan yang   lebih tinggi, yaitu Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, bahkan sampai ke Perguruan Tinggi.

Seyogyanyalah sekolah-sekolah yang ada saat ini, khususnya untuk Anak Usia Dini lebih memperhatikan kebutuhan dan kepantingan siswa-siswinya daripada kepentingan orang tua yang menuntut anaknya harus sudah bisa membaca dan menulis pada usia dini tanpa mau tahu efek kedepannya apabila dilakukan dengan cara yang salah. Semoga kita tidak menjadi guru yang seperti itu karena dosa yang kita lakukan itu akan terus mempengaruhi kehidupan mereka ketika dewasa nanti. Be a good teacher to get best generation in the future. Insya Allah Amiin.

Rabu, 13 Februari 2013

Valentine's Day dalam Islam

 Islam adalah agama yang penuh rahmat. Ajaran-ajaran agamanya penuh dengan aturan-aturan  hidup untuk mengatur kehidupan manusia. Dalam Al-Qur'an ada aturan-aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia (hablumminannaas) dan manusia dengan Tuhannya (Allah) atau Hablumminallah. Aturan mulai dari bagaimana manusia mengelola kehidupan rumah tangganya, bagaimana manusia mengelola hubungannya dengan orang lain, semua sudah terangkum dalam 30 juz yang ada di Al-Qur'an. Salah satunya adalah tentang kasih sayang dengan sesama manusia. Disitu sudah diatur bagaimana manusia harus berkasih sayang dengan manusia yang lain dalam kehidupannya tanpa pernah mengenal perbedaan kasta ataupun yang lainnya. Intinya adalah berkasih sayang secara universal. Dalam Surat As-Syuro ayat ke 23 dikatakan : "Katakanlah : Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan".

Dalam ayat tersebut diatas, makna kasih sayang yang dimaksud bersifat universal dan tidak berbatas waktu. Setiap saat, setiap waktu kasih sayang harus selalu kita tebarkan kepada sesama. Ada sebuah cerita yang mungkin tidak asing lagi bagi kita tentang keluasan kasih sayang Rasulullah kepada sesamanya.
Semasa Rasulullah, hiduplah seorang Yahudi yang buta. Yahudi tersebut sangat membenci Rasulullah. Akan tetapi, kebencian si Yahudi tersebut justru dibalas oleh Rasulullah dengan sebuah kebaikan yang Insya Allah tidak akan pernah terlupakan oleh si Yahudi tersebut. Setiap hari Rasulullah mendatangi si Yahudi dan menyuapinya makan. Setiap kali disuapi, si Yahudi selalu menjelek-jelekkan Rasulullah.  Kebiasaan tersebut dilakukan oleh Rasulullah dengan penuh kasih sayang dan dalam waktu yang cukup lama. Setelah Rasulullah wafat, Abubakar, sahabat Beliau yang menggantikan Rasulullah untuk menyuapi si Yahudi buta tersebut. Beliau datang ke rumah si Yahudi dan menyuapinya. Seperti biasa, si Yahudi mulai mengumpat Rasulullah. Abubakar sangat marah dengan perilaku si Yahudi. Abubakar menyuapi si Yahudi dengan setengah marah karena Rasulullah dihina seperti itu. Sungguh diluar dugaan, si Yahudi tersebut bertanya kepada Abubakar : "Anda pasti bukan orang yang biasa menyuapiku". Dengan agak marah Abubakar menjawab : "Ya, aku memang bukan orang yang biasa menyuapimu. Aku adalah salah satu sahabatnya. Kamu tahu, siapa sebenarnya orang yang menyuapimu setiap hari? Dia adalah orang yang selalu kamu hina dan kamu olok-olok, yaitu Muhammad Rasulullah dan sekarang Beliau sudah meninggalkan kita semua". Mendengar jawaban dari Abubakar tersebut, maka si yahudi langsung menangis tersedu-sedu. Saat itu juga dia mengucapkan dua kalimat syahadat. Karena kasih sayang dari Rasulullah, orang yang memusuhinya berbalik jadi mencintainya.

Bulan ini, semua manusia di dunia akan merayakan Valentine. Semua orang, khusunya para ABG menganggap moment ini adalah sebuah peristiwa yang sangat penting. Mereka berlomba-lomba ingin memberikan sesuatu yang terbaik untuk orang yang mereka "cintai" pada hari itu. Ada yang memberikan cokelat, bunga mawar warna pink, boneka warna pink, dan seabrek pilihan hadiah yang akan diberikan kepada orang yang mereka "sayangi". Pokoknya pada hari itu semua orang merasa berbahagia karena mereka mendapatkan sesuatu yang istimewa dari orang-orang yang mereka cintai. Ajaran kasih sayang yang ada dalam Al-Qur'an hilang tertelan gegap gempitanya perayaan Valentine. Sudah sedemikian parahkah kondisi umat saat ini?
Kalau kita cermati, sebenarnya, perintah berkasih sayang dalam Islam lebih universal. Mencakup seluruh manusia, artinya kasih sayang tidak hanya diberikan kepada orang-orang tertentu saja, akan tetapi diberikan kepada semua manusia tanpa terkecuali. Akan tetapi, semua itu seolah tidak berarti dan terlupakan karena adanya perayaan valentine tersebut. Hampir semua manusia di dunia, termasuk yang beragama Islam begitu mengagung-agungkan perayaan yang tidak Islami tersebut, yaitu valentine.

Coba kita ambil ibrah dari kedua peristiwa tersebut dan menarik garis lurus, kira-kira mana yang harus kita pilih. Sebagai seorang muslim, tentu saja peristiwa yang pertama itulah sebenarnya inti dari kasih sayang atau perayaan valentine saat ini. Kasih sayang abadi yang selalu kita berikan kepada sesama manusia sepanjang hayat kita. Tidak berbatas waktu, ras, suku dan agama. Insya Allah kalau itu bisa kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, dunia ini akan selalu merayakan valentine's day  setiap hari, tidak hanya setahun sekali. Dan yang pasti, dunia akan penuh dengan kedamaian. Tidak ada perang dan pertikaian. Tidak ada perselihan dan permusuhan. Tidak ada tawuran dan kerusuhan. Kehidupan terasa indah dan nyaman. That's right?


Senin, 11 Februari 2013

Anak Perlu Dimengerti BUKAN Harus Mengerti Orang Tua

Anak adalah unik, berbeda antara satu dengan yang lain. Tidak ada anak yang sama karakter dan kecerdasannya. Semua pasti berbeda. Keunikan itulah yang harusnya dipahami oleh para orang tua sehingga kita tidak mendzolimi anak-anak kita. Yang terpenting adalah bahwa kita sebagai orang tua harus yakin kalau Insya Allah anak-anak kita adalah anak-anak hebat yang diciptakan oleh Allah dan diberikan kepada kita. Tergantung bagaimana kita mengelolanya.

Anakku yang pertama, Alhamdulillah begitu mudah untuk me-manage-nya, sehingga aku tidak perlu lagi repot-repot harus mempersiapkan segala sesuatunya, terutama masalah persiapannya untuk ke sekolah (materi pelajaran). Nah, kebagian anakku yang kedua, berbeda tiga ratus enam puluh derajat. Aku benar-benar bingung bagaimana cara mengelola anak ini. Rasanya terlalu "sulit" dan sedikit "kewalahan" juga sih.ngpas "dong", baiknya minta ampun, tidak ada yang menandingi. tidak rewel, tidak menangis, tidak... tidak... Yang paling aku takutkan adalah ketika dia sedang tidak "dong", aku bisa seharian disuruh menunggunya di sekolah. Ya, seperti pengangguran begitulah. Kalau tidak berpikir demi kebaikan dan pahala yang didapat, Insya Allah emosiku pasti sudah tak tertahankan. Akan tetapi ketika aku mengingat bahwa anak memang terkadang berperilaku seperti itu karena memang dia sedang membutuhkan aku sebagai ibunya. Butuh belaian sayangnya, perhatiannya dan sebagainya dan sebagainya. Intinya adalah kesabaran yang super ekstra dari aku sebagai ibunya dalam me-manage-nya. Aku ingat, pak Madi (=pak Kumis, pendongeng) yang sekarang sudah almarhum pernah bercerita kepadaku tentang betapa pentingnya kesabaran seorang ibu sehingga bisa mengantarkan anaknya menjadi seorang yang sukses. Disebuah desa di kota Jepang, ada seorang ibu yang mempunyai anak masih berusia balita. Anak tersebut sudah sekolah. Pada suatu hari, sepulang dari sekolah,si anak bilang pada ibunya kalau dia ingin menangkap capung di sawah sebelum pulang ke rumah. Kalau kita, mungkin akan menganggap bahwa hal itu adalah tidak penting dan buang-buang waktu saja. Akan tetapi, ibu yang baik hati ini malah tersenyum kepada anaknya dan mengiyakan permintaan anaknya tersebut. Jadilah ibu dan anak tadi berhenti di sebuah persawahan. Si ibu dengan sabar duduk dipinggir sawah dan si anak berlari-lari kegirangan berusaha menangkap seekor capung. Alhamdulillah, seekor capung kecil berhasil ditangkap oleh si anak. Dengan penuh kegembiraan, ditunjukkannya capung tersebut kepada ibunya tercinta. Dan sang ibu menyambutnya dengan penunh kesenangan dan kebanggaan melihat anaknya sudah berhasil menangkap seekor capung kecil. Dari bibirnya terucap sebuah pujian kepada anaknya karena telah berhasil menangkap seekor capung kecil. Bagaimana dengan kita? Bisa jadi, kita malah mencemooh anak kita karena sudah menghabiskan waktu kemudian capung yang ditangkap juga kecil. Akan tetapi, dari sepenggal kisah tadi, beberapa tahun kemudian muncul seorang pemimpin yang hebat yang mampu memahami orang lain, yang selalu bersikap sabar kepada semua bawahannya. Anak tersebut menjadi "hebat" karena sebuah proses alami yang kita anggap sepele.

Anakku yang kedua adalah anak hebat yang punya pendirian yang kuat. Jadi kalau dia sudah punya keinginan terhadap sesuatu, maka apa yang diinginkan itu "harus" didapatkan. Biasanya aku dan suami sering berselisih karena perbedaan keputusan dalam menangani anak tersebut. Akhirnya salah satu harus menurunkan idealismenya agar sang anak juga menurunkan sedikit egonya.

Hal yang paling membuat aku dan suamiku pusing adalah ketika dia aku suruh untuk shalat. Masya Allah, aku dan suami sudah mengerahkan sepenuh tenaga, kesabaran dan strategi agar anakku mau untuk melakukannya. Hasilnya adalah nihil. Dia tidak bergeming meskipun banyak contoh riil dihadapannya. Kalau anakku yang laki-laki, ketika diawal, dia begitu mudah untuk diajak melakukan shalat, nah giliran anakku yang nomor dua ini, dia selalu menolak dengan alasan bahwa dia belum mau shalat, katanya nanti kalau sudah kelas lima. Wah, aku dan suami sempat bingung juga, dipaksa hasilnya malah tidak baik, dibiarkan hasilnya jadi tambah tidak mendukung dia untuk mau melakukan shalat, Finalnya, aku dan suami sepakat kalau kita memberikan contoh riil kepada anak-anak. Insya Allah nanti hasilnya akan terlihat setelah beberapa waktu. Tentunya aku tidak segan-segan selalu bertanya kepada anak-anakku kapan ya dia mau shalat lima waktu.
Waktu berlalu, tak terasa sudah setahun berlalu. Aku dan suamiku selalu mengingatkan anak-anak kami untuk shalat meskipun terkadang mereka terkesan "cuek", yah wajar saja karena usia mereka masih belum baligh, jadi pemahaman mereka akan ritual ibadah masih perlu ditingkatkan lagi.

Pernah suatu ketika, dia aku ajak rapat. Disaat "break" untuk shalat, anakku tidak mau shalat. Aku sempat malu juga dengan kondisi seperti itu. Malu karena aku begitu menggembar-gemborkan untuk shalat tepat waktu tetapi anakku tidak mau melakukan shalat. Ampunilah hamba-Mu ini Ya Allah.
Tibalah saat yang ditunggu-tunggu, Anakku yang nomor dua sudah naik ke kelas  lima Sekolah Dasar. Wah, saatnya untuk menagih janji yang belum terbayarkan. Dengan penuh kasih sayang, aku dekati dia sambil kuelus-elus kepalanya. Perlahan, aku tanya kedia tentang janjinya untuk memulai shalat lima waktu. Deg-deg-an juga waktu menunggu jawaban darinya. Kulihat anakku hanya terdiam, tak bereaksi. Aduh, bagaimana ini, sepertinya tidak ada "action" apapun. Hanya diam seribu bahasa. Aku terus memuji dan memotivasi anakku untuk mau bangkit.................shalat anakku..................
Beberapa hari kemudian, ada sebuah "surprise" dari Allah untukku. Anakku yang kedua bertanya kepadaku tentang shalat. Bagaimana shalat yang baik, kapan waktu terbaik untuk shalat, diawal atau diakhir, bagaimana sujud yang benar dan sebagainya dan sebagainya. Perlahan aku bertanya kepadanya,"Apakah kamu mau shalat anakku?" Diluar dugaan, anakku menjawab bahwa dia mau shalat lima waktu. Subhanallah, Alhamdulillah ternyata Engkau mengabulkan doa kami ya Allah. Anakku sudah mau melaksanakan kewajibannya, yaitu shalat lima waktu.
Dan yang lebih membanggakan kamis sebagai orang tuanya adalah, bahwa dia sekarang shalatnya tidak hanya shalat lima waktu saja akan tetapi shala Tahajud dan Dhuhanya tidak pernah terlewat. Sekarang, sebelum adzan berkumandang, dia sudah mempersiapkan dirinya untuk siap melaksanakan shalat.......... dan tepat waktu.

Alhamdulillah ya Allah, hasil perjuangan kami tidak sia-sia begitu saja. Dan sekarang kami memetik hasil dari apa yang kami tanam. Anak tidak perlu dipaksa-paksa untuk mau melakukan apa yang kita (orang tua) inginkan, kalau itu yang terjadi, Insya Allah tidak akan lama semua akan berantakan. Kesadaran yang muncul dari dalam dirinya itulah yang seharusnya perlu kita gali agar bisa muncul kepermukaan. Kalau itu yang terjadi, Insya Allah kita tidak perlu repot-repot lagi untuk me-manage anak kita karena dia akan melakukan semua kebaikan-kebaikan yang selalu kita ajarkan kepadanya. Tanpa harus disuruh. Karena itu, semua wanita yang mengaku ibu, jagalah anak-anak kalian, didiklah mereka dengan santun agar menjadi anak yang shaleh. Mungkin ini adalah jawaban dari Allah atas do'a-do'a yang aku dan suamiku panjatkan untuk anak-anak kami. Insya Allah amiin.