Sabtu, 03 Juni 2017

Be a Great People

BE A GREAT PEOPLE.

Alkisah, ada seorang anak sedang bersedih hati. Dari raut wajahnya tampak ada rasa ketidakpuasaan dalam dirinya. Yah, dia tidak berhasil menjadi seorang juara pada sebuah kompetisi bergengsi yang diadakan oleh salah satu universitas negeri terbesar di negeri ini. Dia hanya menempati urutan ke sepuluh dari seluruh peserta se Indonesia. 

Sebenarnya apa yang sudah diraihnya itu sangat spektakuler, sebuah lomba yang dianggap sangat bergengsi bagi seluruh sekolah di Indonesia. Khususnya pada jenjang Sekolah Menengah Atas. Hampir semua peserta sudah mempersiapkan diri mereka jauh hari sebelum pelaksanaan lomba. Ada yang setahun sebelum pelaksanaan, enam bulan sebelum pelaksanaan, minimal tiga bulan sebelum pelaksanaan. 

Si anak dan temannya satu team hanya mempersiapkan diri mereka tiga hari sebelum pelaksanaan lomba. Itupun mereka masih harus belajar sendiri, tanpa bimbingan siapapun. Alhamdulillah ibu si anak tersebut bisa memfasilitasi dengan membelikannya beberapa buku sebagai pegangan. Belajarlah dia hanya dari buku yang dibelikan oleh ibunya.

Anak tersebut akan mengikuti Lomba Ekonomi Islam, dengan peserta yang terdiri dari seluruh sekolah SMA bergengsi se Indonesia. Bisa dibayangkan, betapa beratnya perjuangan yang harus dia lakukan untuk bisa mengalahkan semuanya. Persaingan yang tidak mudah dan sangat ketat. Harus benar-benar bekerja keras untuk bisa memenangkannya.

Tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Perlombaan bergengsi yang diadakan rutin setiap tahun oleh Universitas Airlangga, Surabaya. Seluruh peserta berjuang keras untuk bisa mendapatkan nilai yang tertinggi. Harapannya tak lain dan tak bukan adalah menjadi yang terbaik diantara peserta yang ikut.

Seleksi begitu ketatnya. Semua peserta sibuk dengan soalnya masing-masing. Mereka begitu seriusnya, bahkan untuk sekadar melihat ke teman sebelahnya saja sudah tidak bisa dilakukan oleh mereka. Semua perhatian dan pikiran mereka tertuju pada soal-soal yang ada di hadapan mereka.

Hampir seharian mereka menjalani semua itu. Wajah-wajah lelah tampak tergambar di raut muka mereka. Semua tegang dan berdebar-debar. Karena ini adalah sebuah penentuan. Penentuan apakah mereka akan menjadi yang terbaik atau justru yang harus rela mundur karena nilai mereka masih di bawah team yang lain.

Perlombaan selesai. Tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Pengumuman hasil serangkaian tes selama sehari. Dan alhamdulillah benar, team si anak menduduki urutan ke sepuluh dari lima puluh dua peserta. Sebuah prestasi yang sangat luar biasa. Dia mampu mengalahkan sekolah-sekolah yang sudah punya nama, seperti MAN Cendekia dan MAN 1 Malang. Great benar.

Rupanya kemenangan tersebut tidak mampu memuaskan hati si anak, dia masih merasa belum puas dengan apa yang sudah diraihnya. Kekalahan tipis,hanya terpaut dengan koma saja. Benar-benar sebuah kekalahan yang membuat dirinya shock. Kenapa hanya berbeda koma. Dan kalau sekolahnya mempersiapkan dirinya sejak awal, dia yakin akan bisa menjadi yang terbaik diantara semua peserta yang ikut.

Besoknya, sang anak bertemu dengan ibunya. Wajahnya tampak lesu, tak bercahaya. Terasa benar gurat kekecewaan di wajah tampannya. Senyumnya tersimpan dalam rasa ketidakpuasannya. Seketika, semua itu ditumpahkannya pada ibunya. Sang ibu hanya diam mendengarkan, sambil sesekali memegang tangan putranya. Senyum tak lepas dari bibirnya. Sebuah kekuatan maha dahsyat sedang dipersiapkannya untuk putra tersayangnya. 

Cerita pun selesai. Si anak masih tampak sangat kecewa. Perlahan si ibu menggenggam tangan anaknya dengan agak kuat. Dipandangnya wajah anaknya... dalam. Senyum manisnya mencoba memasuki hati dan jiwa anak tersayangnya itu. Mencoba mengurai ketegangan yang telah dialami anaknya.

Perlahan dia berkata, "Anakku, apa yang engkau lakukan itu sangat hebat bagi ibu. Mengalahkan lima puluh dua peserta dan meraih urutan kesepuluh. Great benar. Kenapa harus bersedih. Tersenyumlah dan semua akan indah".
"Iya bu, tapi aku masih belum puas dengan semua ini," jawab si anak.
Sang ibu mengernyitkan keningnya. Senyum kembali terkembang.
"Apa yang membuatmu masih belum puas nak?" tanya si ibu.
"Nilai akhirnya itu. Hanya terpaut koma dan tidak banyak," jawab si anak sambil merajuk.
"Hmmm, itu masalahnya. Sekarang ibu tanya kepadamu, berapa lama kamu mempersiapkan semua ini?" tanya si ibu.
Si anak terdiam. Perlahan matanya tertuju pada mata ibunya.
"Hanya tiga hari bu. Memang sih, mereka sudah mempersiapkannya jauh hari sebelum perlombaan. Ada yang setahun, enam bulan, tiga bulan dan ada juga yang sebulan. Aku harus belajar sendiri bu selama tiga hari," jawab sang anak.
Diusap kepala anaknya. Sang ibu tersenyum. 
"Anakku, coba bayangkan. Mereka sudah mempersiapkan diri sangat awal, sementara kamu sangat akhir. Artinya adalah bahwa memang sudah sepantasnya kalau mereka menang. Tapi apakah kamu tidak bersyukur kepada Allah, atas apa yang sudah diberikan-Nya kepadamu?" tanya si Ibu.
"Spektakuler benar kan? Dalam waktu tiga hari, kamu bisa mengalahkan mereka yang sudah mempersiapkan dirinya terlebih dahulu. Lalu nikmat mana yang tidak engkau syukuri?" tanya si Ibu.

Sang anak terdiam. Perlahan guratan kekecewaan menghilang dari wajahnya. Berganti sebuah senyuman yang paling manis. Setelah kekalahannya. 

Si ibu selalu menekankan kepada anaknya bahwa semua itu adalah takdir yang harus diterima. Karena dibalik setiap takdir Allah, akan ada keindahan yang diselipkan oleh Allah untuk hambanya. Mulailah si ibu memeluk anaknya. Mencium pipi dan keningnya. 

Dengan suara lemah lembut, berkatalah dia... "Anakku, seorang juara itu tidak harus berkalungkan medali di leher. Atau memegang piala di tangan. Juara sejati itu adalah perlu bukti nyata. Bukan sekadar semua atribut di dada. Kamu tahu, kamu sudah sangat hebat anakku. Mampu mengalahkan 52 peserta lain dan menduduki urutan ke sepuluh, padahal kamu hanya belajar dalam tiga hari. Seperti yang kamu tadi ceritakan, ada yang sudah mempersiapkan diri selama setahun, ternyata jauh di bawahmu. Bahkan sekolah X, yang merupakan sekolah favorit dan selalu menjadi juara disetiap event lomba, kalah denganmu. Ayo, angkat kepalamu. Tersenyumlah, karena Allah tidak akan pernah salah dalam memberikan sesuatu kepada hambaNya. Siapa tahu, dengan tidak menjadi juara sekarang ini, justru Allah memberikan sebuah pelajaran berharga buat dirimu... Coba renungi dan resapi. Tidak usah iri atau dengki dengan prestasi orang lain. Karena itu sudah diatur oleh Allah. Jangan jadi pecundang, yang menghancurkan dan mengorbankan orang lain hanya karena ambisi dirimu yang berlebihan.Ingatlah bahwa setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan. Tidak ada kesempurnaan dalam diri manusia. Berbuat baik kepada orang lain, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda dan selalu beraikap sportif, akan menjadikan dirimu seorang Juara Sejati. Jadilah orang hebat denga cara yang hebat, bukan dengan menjadi pecundang yang sukanya menghancurkan orang lain dengan cara manis tapi tidak menyenangkan. Ingatlah selalu, bahwa setiap apa yang kamu lakukan akan ada balasan yang akan kamu terima nanti. Ingatlah bahwa seorang petani hanya menanam sebiji pohon mangga, akan tetapi, ketika panen, dia akan memetik buah mangga yang jumlahnya lebih banyak dari apa yang ditanamnya. Bisa seratus atau dua ratus buah, bahkan lebih. Kamu selalu menjadi juara di hati ummi sayang...ingatlah Allah selalu agar lurus langkahmu. Jangan pernah ingin menjadi THE WINNER dengan menghancurkan orabg lain. BE A GREAT PEOPLE LIKE RASULULLAH. BE A GOOD WAY... THE WAY OF ALLAH". 

Si anak menengadahkan wajahnya, senyumnya terkembang. Pandangan matanya lurus ke depan. Dia bersyukur punya seorang ibu yang selalu memberikan nasehat terbaik dalam hidupnya. Sejak dirinya masih kecil sampai sekarang. Bahkan dia tahu sendiri, ibunya selalu berusaha sabar dan ikhlas dalam setiap keadaan, serta berpikir positif kepada Allah. Ibunya selalu berusaha memaafkan siapa saja yang menyakitinya. Termasuk memaafkan dirinya setiap kali dia melakukan kesalahan... Yah, Rasulullah selalu dijadikan sebagai contoh dalam kehidupannya. Meskipun sulit menjalaninya. Karena di dalam diri Beliau ada contoh terbaik dalam menjalani hidup dan kehidupan.

Syukurku Tertambat di sini

Syukurku Tertambat di sini

Saya berjalan perlahan menyusuri gang kecil di tepi sebuah sungai. Pemandangan khas yang dulu ketika saya kecil, hampir setiap hari saya nikmati. Lambain baju yang digantung di depan rumah, menghiasai sepanjang jalan yang saya lewati.
Seperti mengingat masa lalu, anganku pun melayang jauh ke empat puluh tahun yang lalu. Aku dengan teman-teman kecilku. Berlarian di sepanjang sungai di depan rumah saya. Terkadang, saya masuk ke sungai itu untuk menangkap ikan gatul yang banyak hidup di sana. Meskipun bayrannya adalah, kaki saya gatal-gatal dan memerah.
Saya sangat menikmati masa kecil saya. Tanpa tekanan dan paksaan. Bapak dan Ibu saya adalah orang yang demokratis sekali. hampir sebagian besar waktu kecil saya, saya habiskan dengan bermain. Mashaa Allah benar. Semua mengalir indah, seindah aliran air sungai yang bening dan mengalir perlahan.
Alunan surah Yaasin mengiringi kedatangan saya di TPQ Ar-Rohmah yang berlokasi di jalan Pacar Kembang XII/32, Surabaya. Saya mengira kalau lokasi TPQ tersebut adalah di sebuah masjid atau rumah yang besar. Bukan di gang sekecil ini. Benar-benar surprise dari Allah yang tak ternilai harganya. Saya benar-benar terkejut dengan surprise tersebut.
Tidak hanya itu, saya juga sangat terkejut, ketika melihat betapa banyaknya anak-anak dan ibu-ibu yang berkumpul di situ. Mashaa Allah, diluar perhitungan saya. Mereka memenuhi hampir separo gang. Jumlahnya sekitar dua ratusan. Pantas saja semua warga tahu kalau di rumah bu Muntik ada pengajian. Ternyata kegitan tersebut adalah sebuah agenda rutin tahunan.
Setiap tahun, menjelang bulan puasa, mereka selalu mengadakan kegiatan rutin tersebut. Jumlah jama’ah mereka lebih dari tiga ratusan. Tapi yang sekarang diundang pada acara tersebut hanya anak yatim dan dhuafa. Jadi tidak terlalu banyak. Karena sekalian memberikan santunan kepada mereka.
Saya pun diperkenalkan kepada pengelola atau yayasan Ar-Rohmah, bu Mutmainnah atau biasa dipanggil bu Muntik. Jangan sampai salah mengucap dengan mengganti huruf vokalnya, nanti malah beda arti (mantik=pemantau jentik-jentik). Itu yang diucapkan Habbi, boneka muppet yang mendampingi saya bercerita di sana.
Riuh rendah suara anak-anak dan ibu-ibu memenuhi suasana pengajian tersebut. Yah, mereka sedang menikmati kue bikang dan air mineral gelas yang dibagikan oleh panitia. Sembari menikmati kegembiraan mereka, saya juga mencoba kue bikang kegemaran saya itu. Subhanallah, nikmat sekali. sudah lama saya tidak menikmatinya.
Tibalah saatnya saya harus bercerita di hadapan anak-anak dan orang tuanya. Habbi saya letakkan di tangan kanan saya, sementara tangan kiri memegang microphone. Salam pun saya ucapkan. Habbi menirukan dengan logat kanak-kanaknya. Balasan salam sangat meriah. Terlihat wajah-wajah mereka tertawa bahagia.
“Ya Rabb, semoga mereka bisa medapatkan kebahagiaan dengan cerita yang saya sampaikan,” batin saya sembari memainkan Habbi. Wajah-wajah ceria itu tertawa mendengarkan dialog antara saya dengan Habbi. Bahagia rasanya bisa menghibur mereka, anak- anak yatim dan dhuafa. Senyum mereka adalah kebahagiaan buat saya.
Semua larut dalam cerita yang saya bawakan. Cerita nabi Nuh dan Akhlaq Mulia Rasulullah begitu memesona mereka. Sepertinya mereka belum pernah mendengar cerita nabi tersebut. Iba hati saya mendengarnya. “Nanti saya akan berbicara dengan bu Munthik, agar saya diberi kesempatan untuk bisa membahagiakan mereka pada kesempatan lain.
Acara berlangsung dengan meriah. Cerita yang saya sajikan sangat mereka sukai. Tentang nabi Nuh dengan anaknya yang bernama Kan-an. Juga cerita tentang akhlaq mulia Rasulullah, tentang seorang gadis kecil di kota Medinah pada saat lebaran.
Sebelum saya berpindah ke lokasi bercerita yang satunya, saya duduk di depan rumah bu Munthik. Ada seorang perempuan setengah tua sedang  menggendong cucunya. Bayi  kecil yang lucu, sayang saya lupa menanyakan siapa namanya. Saya segera mendekat dan berpindahlah sang bayi ke tangan saya.
“Bu, boleh saya ambil cucunya menjadi anak saya?” tanya saya pada perempuan tersebut, yang tak lain adalah nenek dari si bayi. Penuh harap, semoga nenek tersebut mau melepaskan si bayi lucu kepada saya. Mbak Iffah mengatakan bahwa ibu si bayi sudah meninggal pada saat melahirkan bayi tersebut. Iba hati saya mendengarnya.
“Ya gak boleh kak, saudara-saudara juga minta semua, tapi tidak saya berikan. Ini hiburan saya, pengganti ibunya,” jawab si nenek seolah berusaha mengatakan bahwa cucunya tidak akan dia berikan kepada saya. Entah mengapa, hati saya segera tertambat ke bayi tersebut. Mungkin karena wajah polosnya yang lucu itulah yang membuat saya jatuh cinta padanya.
Kami pun berbincang-bincang tentang ibu si bayi dan ayahnya. Dari cerita yang disampaikan si nenek, saya benar-benar sedih mendengarnya. Butiran bening mengambang di kelopak mata saya. Aduh, jangan sampai keluar, nanti saya malu dibuatnya. Ketahuan kalau cengeng.
 Rabbi, semua takdir yang telah Engkau gariskan untuk saya, ternyata mempunyai makna yang sangat mendalam. Ada kebahagiaan yang Engkau selipkan dalam setiap torehan takdir-Mu. Dan kali ini saya benar-benar menikmatinya dengan limpahan rasa syukur kepada-Mu Ya Allah.
Kekecewaan karena tidak dapat berangkat bersama dengan teman-teman ke Jakarta, telah digantikan Allah dengan kebahagiaan lain. Yang mungkin saja tidak pernah akan saya dapatkan kalau saya ke Jakarta. Seorang bayi mungil tanpa ibu sempat menghilangkan sedikit kekecewaan hati saya.
Syukurku akan semua takdir-Mu aku labuhkan di tempat ini, sebuah Taman Pendidikan Qur’an yang belum pernah aku ketahui sebelumnya. Bukan kebahagiaan karena meteri saja, melainkan kebahagiaan dalam hati. Tak akan bisa dibayar dengan apapun.
Syukur ini saya tambatkan di tempat yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Di TPQ Ar Rohmah, dari santri-santri mereka itulah saya banyak belajar tentang arti kehidupan. Miss you mbak Iffah dan bu Munthik…