Jumat, 14 Maret 2014

Ternyata Selingkuh Itu Tak Indah

Ternyata Selingkuh itu tak Indah

           
Tadi pagi ketika belanja di pasar, ada seorang penjual yang sepertinya sangat antusias membahas sebuah topik pembicaraan. Sekilas aku mendengar apa yang mereka perbincangkan. Yaitu tentang perselingkuhan. Si ibu penjual bahkan sampai berapi-api ketika membahas tentang fenomena tersebut.

   
         “Lha nggih mik, wong urip kok mboten nrimo. Sampun gadhah bojo nggenah eh malah pados lintu”, cerita ibu penjual kepadaku (artinya : Lha iya mik, hidup kok tidak menerima. Sudah punya suami yang baik eh malah mencari yang lain). Itulah fenomena hidup. Tidak hanya penjual di pasar yang bisa berbuat seperti itu. Seorang guru-pun bisa melakukan perbuatan tersebut. Bahkan dengan rekan sekerjanya, sesama guru yang notabene adalah seorang pendidik.

           
Seingatku, kata-kata selingkuh itu sudah muncul sejak tahun 1990-an. Saat itu aku masih
bekerja di sebuah instansi milik seorang konglomerat di negeri ini. Kebetulan teman salah seorang teman kantor “bermain api” dengan rekan kerjanya, Cuma beda divisi. Nah kata-kata selingkuh pertama kali aku dengar saat itu dan kondisi riil dilapangan masih sangat minim sekali. Untuk saat ini, jumlah prosentase laki-laki dan perempuan yang melakukan perselingkuhan meningkat sangat pesat. Mengapa demikian?
           
Emansipasi wanita adalah salah satu jawaban dari fenomena perselingkuhan yang merebak di masyarakat saat ini. Banyaknya wanita yang bekerja diluar rumah semakin membuka peluang perselingkuhan semakin besar. Celah yang semula kecil menjadi terbuka lebar. Umpama kran air, saat ini kran tersebut sudah hampir rusak karena perawatan yang kurang baik dari pemiliknya.

   
         Peluang wanita bekerja diluar rumah memang salah satu faktor utama merebaknya perselingkuhan saat ini. Alasan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi menjadi dasar utama mengapa mereka berbondong-bondong keluar rumah untuk “membantu” suami mereka mencari nafkah. Sebuah alasan klise yang sebenarnya merupakan suatu upaya untuk “melepaskan diri” dari tanggung jawab utamanya, yaitu sebagai seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya selalu berkutat dengan pekerjaan rumah tangga yang tidak ada habisnya.           
Fenomena tersebut masih didukung dengan gembar-gembor pengarasutaman gender yang pada akhirnya salah dalam aplikasinya (oleh para wanita). Dasar agama tentang pembagian fungsi dan peran antara wanita dan laki-laki semakin lama semakin kabur. Alih fungsi dan peran antara wanita dan pria bahkan dianggap hal yang biasa. Sudah bukan hal yang memalukan kalau wanita yang bekerja sementara si suami justru di rumah, meng-“handle” pekerjaan si isteri. Bahkan masyarakat juga ikut melegalitaskan kesalahan tersebut.

      
Suami terkadang diam seribu bahasa ketika mengetahui bahwa
 isterinya punya pria idaman lain selain dirinya yang syah. Atau sebaliknya. Mereka hanya berpikir tentang kenyamanan ekonomi, sementara mengabaikan hal yang seharusnya merupakan sesuatu yang prinsip dan ada syar’i. Dan kesalahan tersebut mereka anggap biasa, tidak ada beban pada diri mereka bahwa apa yang mereka lakukan tersebut akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah S.W.T..


           
Ada seorang laki-laki yang datang ke rumah dan menceritakan tentang kondisi rumah tangganya yang tidak “harmonis”. Si isteri adalah seorang wanita pekerja. Setiap bulan, selalu saja ada alasan dari si isteri untuk menuntut kepada suaminya tentang gaji si suami yang tidak seberapa. Padahal kalau ditotal, pendapatan keduanya bisa mencapai angka 6 (enam) juta perbulan. Sebuah jumlah yang cukup besar dan sudah lebih dari cukup untuk sebuah keluarga kecil, pasutri dan seorang anak yang masih berusia 3 (tiga) tahun. Apalagi rumah sudah ada dan tinggal menempati saja.
           
Usut punya usut, ternyata si isteri punya pria idaman lain. Pantas saja, setiap kali pulang ke rumah bawaannya selalu marah dan marah. Bahkan meninggalkan suami dan anaknya untuk kemudian menikah lagi dengan pria lain, padahal pria tersebut sudah beristeri. Dia rela meninggalkan anak dan suaminya hanya untuk mengejar kesenangan sesaat yang sebenarnya tidak perlu dilakukannya. Dirinya bahkan rela menghinakan dirinya dihadapan wanita lain karena keinginannya untuk memiliki suami si wanita tersebut. Bahkan dia juga melakukan sebuah kebohongan dengan membuat surat cerai palsu untuk bisa menikah dengan pria idamannya tersebut. Naudzubillah.

        
Ada lagi cerita tentang dua orang guru di sebuah Sekolah Dasar. Karena terlalu sering curhat tentang kondisi rumah tangga masing-masing, akhirnya mereka terjerumus dalam sebuah tindakan yang sangat tidak pantas dilakukan oleh seorang pendidik seperti mereka. Yaitu perselingkuhan. Bahkan masalah mereka sudah ditangani oleh pihak UPTD setempat. Solusinya adalah mereka dipisahkan, yang laki-laki dipindah tugaskan ke tempat lain. Yang namanya syaitan itu lebih pandai dan lihai dalam menggoda manusia.  Mereka masih saling berjumpa disuatu tempat yang mereka anggap “aman” untuk mereka. Finalnya, si suami dari wanita tersebut menyerahkan isterinya untuk dinikahi oleh rekan kerjanya.
           
Kalau kita bisa berpikir lebih realistis, tidakkah kita menyadari bahwa suami atau isteri dan anak-anak yang diberikan oleh Allah kepada kita adalah sesuatu yang sangat berharga dalam hidup kita? Mereka selalu ada disaat kita butuh mereka. Mereka adalah segala-galanya. Karunia terindah dari Allah untuk kita. Amat disayangkan kalau kita tidak bisa mengelola amanah tersebut hanya karena nafsu dunia. Cinta lokasi atau apalah yang pada intinya menganggap orang lain lebih baik dari suami atau isteri di rumah. Ada sebuah pepatah yang dijadikan judul sebuah buku, yaitu “Rumput Tetangga Tidak Lebih Hijau Dari Rumput Sendiri”. Maknanya adalah bahwa apa yang terlihat begitu “menggoda” belum tentu lebih baik dari apa yang kita miliki. Belum tentu nanti ketika kita menikah dengan laki-laki atau wanita lain kondisi rumah tanggabaru yang kita bina bisa lebih baik dari sebelumnya. Biasanya laki-laki atau wanita idaman lain itu tidak lebih baik dari suami atau isteri terdahulu.
           
Semoga uraian dan penggalan kisah tersebut bisa menjadi ibroh untuk kita semua sehingga kita bisa introspeksi diri untuk bisa berpikir lebih panjang lagi dalam melangkah dan berbuat dalam kehidupan kita. Kunci hidup yang harus kita pegang adalah sabar, ikhlas dan tawakal atas ketentuan-Nya. Insya Allah dibalik semua ujian yang diberikan oleh Allah kepada kita, baik itu berupa kenikmatan ataupun kesusahan pasti ada hikmah dibalik semua itu yang akan diberikan-Nya sebagai hadiah terindah untuk kita. Dan pada akhirnya kita akan merasakan bahwa perselingkuhan itu bukanlah sebuah keindahan dan kebahagiaan melainkan sebuah malapetaka yang membuat kita berbuat dosa kepada orang-orang terkasih dan tersayang kita. Dan tidak sedikit yang pada akhirnya berujung dengan sebuah kehancuran dan penyesalan yang tidak kunjung henti dalam hidup kita