Sabtu, 19 Agustus 2017

IMPIAN KITA

Impian. Begitu indah dan membuai, siapa saja yang memilikinya. Diri akan terbuai dan terbang melayang untuk meraihnya. Dengan usaha dan do’a. tak akan ada yang bisa menghalanginya. Itulah yang biasa aku lakukan dengan murid-muridku. Menancapkan impian dalam angan, berharap Allah akan mengabulkannya.


Murid-murid special dari Allah. Memang sekolahku tidak pernah banyak muridnya. Siapapun yang menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah yang aku kelola, adalah orang yang paham tentang pendidikan anak usia dini. Selain itu, mereka juga tidak menginginkan kalau anak-anak mereka bersekolah dengan jumlah murid yang banyak.
Tahun ajaran ini, aku menjadi wali kelas untuk Kelompok Bermain dan Kelompok B. Hanya delapan orang. Tapi penanganannya melebihi dua puluh anak. Mereka “anak-anak hebat” (bukan ABK) yang perlu penangan berbeda. Artinya, mereka pandai dan save dalam menyelesaikan permasalahan mereka. Itu adalah goal sekolah yang aku kelola.


Awal, mereka agak takut kepadaku. Maklum, selama ini, aku hanya sebagai pengawas bagi guru mereka. Tapi, tahun ini aku harus mendidik dan mengajari mereka sendiri. itu karena takdir yang mengharuskannya. Bismillah, aku jalani semua dengan ikhlas dan sabar serta senang hati.


Aku mencoba memetakan mereka berdasarkan kemampuan akademiknya. Agar memudahkan aku dalam memberikan materi ke mereka. Alhamdulillah akhirnya semua berjalan sebagaimana yang aku harapkan.


Aku mengajak mereka bermain dan bersenang-senang. Itu yang setiap hari aku lakukan, sehingga mereka merasa betah di sekolah. Bahkan mereka selalu minta dijemput terlambat setiap hari. Hanya untuk memuaskan diri di sekolah. Ada satu ganjalan, yang selalu menggangguku. Mereka sangat penakut ketika aku minta untuk maju bercerita atau yang lainnya. Ada apakah dengan mereka?


Aku mulai berpikir, apa yang harus aku lakukan, agar mereka menjadi seorang anak yang pemberani? Perlahan aku mencoba mencari-cari, apa yang bisa memancing keberanian mereka selain latihan maju bercerita setiap hari?


Lama aku mencari sebuah metode yang pas untuk mereka. Sebuah metode yang menyenangkan untuk mereka, tapi menjadikan mereka berani maju untuk bercerita. Aku sangat menjadikan hal tersebut sebagai sesuatu yang sangat penting bagi mereka, yaitu bagaimana mereka bisa bercerita dengan berani di hadapan teman-temannya.


Padahal, kami selalu have a nice dream in the future. Kami selalu bermimpi bersama-sama. Tentunya dengan impian yang berbeda-beda. Aku mencoba membangun pikiran positif mereka akan masa depannya. Mempunyai impian indah yang harus diwujudkan suatu saat nanti. Ketika Allah mentakdirkan impian mereka menjadi sebuah kenyataan, bukan hanya sekadar angan-angan belaka.


Ide itu muncul ketika aku menemukan sebuah bola basket milik anak laki-lakiku. Perlahan aku berdiri dan berjalan mengambil bola basket tersebut. Dengan tenang aku mulai memainkan bola basket tersebut. Semua anak didikku melihatnya dengan pandangan yang berbinar-binar. Bahkan, Muel mulai mendekatiku mencoba merebut bola basket dari tanganku. Serentak, semua berebut untuk mendapatkannya.


“Sebentar, bu Hepy akan memberi contoh dulu bagaimana cara memainkannya,” ucapku mencoba menenangkan mereka.
“Aku bu, aku bu…,” suara mereka bersahut-sahutan.
“Iya, iya, sebentar ya… perhatikan dulu,” jawabku mencoba membuat mereka cooling down.
“Anak-anak, bu Hepy akan mengajarkan cara mendrible bola basket dan melemparkannya. Tolong perhatikan ya,” ucapku memulai pemberian materi tentang kebasketan.


Sudah dua puluh enam tahun aku tidak menyentuh bola ini. Aku dulu adalah seorang atlit basket di sekolah. Semua teman laki-lakiku tidak ada yang bisa mengalahkan kemampuanku memasukkan bola ke ring basket. Aku adalah pemain basket handal di sekolah, meskipun jika berhadapan dengan bola volley selalu berlari ketakutan.


Satu-persatu mereka belajar mendrible dan melempar bola. Mereka sangat antusias sekali. tak mau berhenti, padahal sudah satu jam bermain basket.
“Bu, aku hebat ya. Padahal aku kalau di rumah takut main bola basket, sakit kalau terkena bolanya,” celetuk Muel.
“Aku juga bu, ternyata mudah ya bermain basket itu,” Seva menimpali kata-kata Muel.
Azzam juga menyela, “Aku juga bisa bu… pintar ya”.


Subhanallah, mereka senang dan antusias sekali. Bahkan mereka bergaya, seolah-olah sudah menjadi seorang pemain basket handal. Wow… aku benar-benar surprise. Petunjuk Allah yang datang tiba-tiba tanpa pernah aku pikirkan sebelumnya.
“Rabbi, bersyukur hanya kepada-Mu atas semua ini,” batinku sembari tersenyum bahagia melihat kegembiraan anak-anak di hadapanku.


Alhamdulillah dengan metode tersebut, aku bisa membuat mereka berebut untuk maju bercerita di depan. Mereka juga sangat bangga ketika bercerita di hadapan teman-temannya tentang impian indahnya nanti ketika mereka sudah besar.


Kejutan dari Allah yang tak pernah aku sangka-sangka. Menghadirkan anak-anak hebat dalam kehidupanku, meskipun hanya setahun aku mendidik dan mengajari mereka. Tapi, hati kami telah tertautkan. Kami punya impian bersama, suatu saat nanti. Pergi ke Tanah Suci bersama-sama dan melihat keindahan Paris dengan Menara Eifelnya.
Anak-anakku, harapanku, impianku nanti. Aku berharap mereka bisa menjadi seorang pemimpin yang shalih dan shalihah di negeri ini. Membawa pencerahan dan kebaikan-kebaikan untuk agama, bangsa dan Negara. Juga orang tua dan masyarakatnya.


Aku berharap bahwa impian-impian yang kami jalin itu bisa terwujudkan nanti, ketika mereka sudah mampu melakukannya. Muel, Seva, Azzam dan Sharin bisa mengunjungi Negara yang mereka impikan. In Shaa-a Allah… aamiin.


Aku berharap pada-Mu Ya Rabb, mampukan kami untuk bisa mewujudkan semua impian kami. Berilah kami kemudahan dan kekuatan untuk bisa menggapainya. Meraih semua impian dan harapan dengan mengetuk pintu takdir-Mu.